MONASH INDONESIAN SEMINAR SERIES: ULAMA DALAM PUSARAN POLITIK

Mendekati ajang pemilihan presiden, iklim politik tanah air kian hangat. Salah satu yang banyak disorot adalah praktik politisasi agama Islam yang dilakukan oleh para politisi maupun para pendukungnya. Hal ini ditandai oleh beberapa ulama/ustadz yang terjun ke dalam politik praktis. Dampak dari hal ini, di tengah masyarakat terjadi polarisasi yang tajam antara kelompok Islam konservatif dan kelompok nasionalis.

Sepanjang sejarah Indonesia, kelompok ulama selalu menjadi bagian penting dalam konstelasi politik Indonesia. Namun, menurut para pengamat politik, pengaruh para ulama semakin besar di negara kita. Menanggapi fenomena ini, Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre menyelenggarakan seminar bertajuk “Are Indonesia’s Preachers pushing politics to the right?” pada hari Kamis (14/2) lalu.

Seminar yang menjadi bagian dari acara rutin Monash Indonesian Seminar Series (MISS) ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi politik terkini di negara kita. Hadir sebagai pembicara adalah A/Prof Julian Millie dan Prof. Nadirsyah Hosen, masing-masing adalah dosen Jurusan Antropologi dan Jurusan Hukum Monash University. Kedua pembicara ini mendedah gelombang ulama/ustadz konservatif yang tampak di Indonesia saat ini, serta bagaimana pengaruhnya pada politik Indonesia.

Dalam paparannya, Julian menyebutkan bahwa selama ini Indonesia menyediakan arena yang luas bagi ekspresi-ekspresi Islam. Di masa kini, para ustadz di Indonesia bahkan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi terbaru untuk menyampaikan ceramahnya. Ia mencontohkan Ustadz Abdul Somad (UAS) beserta timnya yang memproduksi video ceramah melalui platform YouTube. Penceramah seperti UAS banyak menarik follower buka hanya karena video online-nya yang mudah diakses, namun juga isi ceramahnya yang disampaikan dengan lugas dan rasional. Hanya saja, menurut Julian, semakin ke sini terlihat kecenderungan bahwa politisi menggunakan tokoh-tokoh Islam yang popular di masyarakat untuk dapat menggaet dukungan. “Mereka paham betul bahwa ustadz dan ulama memiliki peran penting dalam memenangkan sebuah pemilihan umum,” ujarnya.

Sementara itu, Prof Nadirsyah Hosen memberikan komentarnya terhadap aturan sertifikasi ustadz/ulama yang dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu. Ada 200 yang masuk ke dalam daftar ulama “besertifikasi”, namun banyak yang mempertanyakan kriteria yang digunakan untuk membuat daftar tersebut. Pria yang akrab disapa Gus Nadir ini melihat bahwa praktik seperti itu seolah ingin memasukkan ulama-ulama konservatif dalam satu keranjang, padahal menurutnya ulama-ulama tersebut terbagi lagi ke dalam golongan yang berbeda. Misalnya, ada ulama yang berafiliasi pada ormas ataupun partai tertentu, ada pula yang tidak mewakili organisasi apapun dan mewakili dirinya sendiri.

Ade Dwi Utami, kandidat doktor dari Faculty of Education Monash University yang hadir saat seminar kemarin melihat bahwa memang ada pergerakan Indonesia yang dimotori oleh kelompok keagamaan, sebagai contoh peristiwa 212 dan kemunculan gelombang “hijrah” di kalangan masyarakat. “Jika pergerakan ini terus belanjut, menurut saya mungkin bisa saja ada dampak besar bagi pergerakan Islam yang sangat kuat, meski tidak bisa serta-merta dibilang bahwa itu akan membentuk Islam Indonesia yang konservatif, karena ada banyak faktor lain,” tambah Amie, demikian ia disapa.

Di akhir seminar, Gus Nadir menyampaikan bahwa saat ini Indonesia sekarang sudah berubah dalam memandang perbedaan, “orang Indonesia sekarang serius banget,” ujarnya. Jika ada yang sedikit saja bercanda soal agama, bisa mendapat gelombang kritik yang sangat besar dan mungkin saja berakhir di ranah hukum.

Teks dan foto: Pratiwi Utami