Menelisik Jejak Kedatangan Islam di Australia

Sejak kapan Islam masuk ke Australia? Adakah pengaruh dari sejarah Islam di Nusantara dengan pekembangan Islam di Negeri Kanguru? Masjid apa yang pertama kali didirikan di Australia? Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya terjawab ketika saya mengunjungi Islamic Museum of Australia (IMA) yang berlokasi di di Thornbury, Melbourne. Bersama komunitas pengajian Zhafaarani dalam acara tur edukasi mengisi liburan anak sekolah bulan September lalu, saya berkesempatan menelusuri riwayat kedatangan Islam di benua Australia.

Jika dikalkulasi secara nasional saat ini, imigran muslim Indonesia bukan merupakan komunitas muslim terbesar di Australia dibandingkan dari Lebanon, Turki, Afganistan, atau Pakistan. Namun, peran muslim Indonesia, khususnya para pelaut Makassar sangat penting dalam penyebaran Islam karena mereka inilah yang yang pertama kali datang ke Australia pada awal abad 17, bahkan sebelum Kapten James Cook mendarat di pantai Australia tahun 1770. Para pelaut asal Makassar secara rutin melakukan kontak dengan bangsa Australia untuk menjalin kerja sama perdagangan teripang (sea slug). Khususnya dengan penduduk Aborigin di belahan wilayah utara Australia.

Menariknya, karena sebagian besar pelaut dari Makassar beragama Islam dan berinteraksi damai dengan suku asli, secara spiritual suku asli Aborigin di utara Australia pun terpengaruh jejak ritual agama Islam yang dipeluk oleh para pelaut asal Makassar. Sebagai contoh, masyarakat suku Warrinmiri di Pulau Elcho (Di perairan Arafuru, sekitar 550 km timur laut kota Darwin) mengenal gambaran figur pencipta semesta yang disebut Walata’walata. Menurut antropolog dan pakar sejarah Australia seperti Ian McIntosh dan P. Stephenson, Walata’walata merupakan adaptasi dari kata Allah ta’ala namun kata dari bahasa Arab tersebut tidak dapat diucapkan secara sempurna oleh penduduk lokal. Selain itu, terdapat pula bukti bahwa penduduk lokal Warrinmiri juga mengenal model pemakaman Islam dan budaya mereka mengenal waktu-waktu shalat a la Islam.

Abad berikutnya pada tahun 1800-an, perkembangan Islam di Australia ditandai dengan kontribusi muslim dari Afganistan dan India yang mengirim bahan baku beserta ahlinya untuk mendukung pembangunan insfrastuktur awal di Australia. Mereka dikenal sebagai “Afghans” atau “Ghans”, penunggang unta (cameleers) dari Afganistan yang membawa barang-barang untuk keperluan pembangunan insfrastuktur fisik, termasuk cikal-bakal rel kereta pertama di Australia. Pada periode ini juga dibangun masjid pertama di Australia yang diinisiasi para penunggang unta. Bangunan sangat sederhana itu didirikan di Marree, Australia Selatan, pada tahun 1861. Hingga saat ini petilasan masjid tersebut masih bisa dilihat dengan jelas di wilayah Marree, sekitar empat jam perjalanan dari Adelaide, Australia Selatan.

IMA yang mulai dibangun Mei 2010 dan diresmikan Februari 2014 tidak hanya menampilkan sejarah Islam di Australia, namun lebih luas menampilkan informasi tentang dunia peradaban Islam dan inti ajarannya. Terdapat lima galeri utama yang bisa dinikmati pengunjung, yakni Islamic Faith, The Islamic Contributions to Civilisation, Islamic Art, Islamic Architecture, dan Australian Muslim History.

Penelusuran awal setelah melalui pintu masuk, di bagian Islamic Faith, pengunjung akan bertemu lima pilar yang bertuliskan masing-masing rukun Islam dan penjelasan singkatnya, mulai dari shahada (syahadat), salat, zakat, sawm (puasa), dan hajj (haji). Di Hajj Theatre, disediakan layar lebar yang memutar film dokumenter sejarah dan ritual ibadah haji yang dilakukan oleh umat Muslim sedunia.

Selanjutnya pengunjung akan diajak melihat kontribusi Islam terhadap peradaban dunia, termasuk penemuan-penemuan ilmiah dan karya seni dari tokoh-tokoh Islam. Beberapa di antaranya adalah sistem penghitungan aljabar, astronomi, permainan catur dari Persia, kaligrafi Islam, dan kisah beserta replika penemuan Abbas ibn Firnas yang mampu terbang dengan pesawat layang tanpa mesin.

Satu pemandangan yang menarik perhatian saya, di antara artefak sejarah dan seni Islam di museum seluas 3.000 meter persegi ini, terdapat satu pajangan batik bermotif parang berukuran sekitar 2 x 1 meter. Keterangan di sebelahnya menjelaskan bahwa motif batik parang sering kali diartikan sebagai keris atau senjata tajam oleh orang-orang di luar Jawa, namun orang Jawa menyebut motif ini sebagai lidah api. Motif ini dinilai sebagai simbol dari pertarungan di dalam diri manusia melawan dosa dengan mengendalikan nafsu dan keinginan mereka. Pada akhirnya kebijaksanaan, karakter, dan perilaku mulia (ahlakul karimah) yang akan menang. Pesan dari batik parang ini senada dengan patung perunggu berjudul “The Great Jihad” karya Abdul Rahman Abdullah yang dipajang tak jauh dari batik parang. Karya seni ini menampilkan dua orang kembar yang saling berhadapan dengan pose kedua tangan mengepal di depan dada seperti sedang memasang kuda-kuda untuk berkelahi. Dalam keterangannya, karya ini menegaskan makna jihad yang sesungguhnya, yaitu saat seorang individu muslim berjuang melawan hawa nafsu dan keinginannya.

Tentunya masih banyak hal-hal menarik lainnya yang tersaji dalam museum ini. Misalnya galeri Notable Australian Muslim yang berisi deretan profil tokoh-tokoh muslim lokal yang berkontribusi dalam berbagai sektor di Australia dalam bidang politik, seni, olahraga, media, dan pendidikan.

Tak hanya dilengkapi fasilitas bernuansa serius dan religius, sebagaimana museum modern lainnya, IMA juga menyediakan fasilitas lain bagi pengunjung seperti café, ruang teater dan workshop, tempat ibadah, toko suvenir, termasuk paket tur dan berbagai workshop tematik yang dikhususkan untuk anak-anak maupun orang dewasa.

Keberadaan museum yang bisa diakses publik ini merupakan jembatan penghubung bagi masyarakat Australia atau siapapun yang ingin memperoleh gambaran utuh tentang Islam di Australia, di tengah kecenderungan terpaan informasi dan opini bias yang sering menghubung-hubungkan tindakan terorisme dan ekstrimisme dengan Islam.

Kontributor teks dan foto: Iwan Awaluddin Yusuf*

*Penulis adalah Dosen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan PhD Candidate in Journalism Studies di Monash University, Australia