Menelisik Hubungan Islam dan Nasionalisme di Indonesia bersama Muhaimin Iskandar

Islam dan Indonesia selalu menarik diperbincangkan, apalagi jika dikaitkan dengan isu-isu sosial dan politik, nasionalisme misalnya. Dua hal ini selalu menjadi diskursus perdebatan yang seolah tanpa ujung di kalangan masyarakat dari berbagai lintas profesi.

 

Selama dua tahun belakangan ini, agama Islam telah menjadi target stigma yang kerap dibenturkan dengan paham nasionalisme berbangsa dan bernegara. Seolah-olah, nilai nasionalisme Indonesia yang saat ini berdasar pada Pancasila sebagai lambang negara sering dipandang sebagai sesuatu hal yang kontradiktif dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, banyak sekali muncul pemahaman-pemahaman akan desakan digantinya ideologi bernegara dengan landasan Islam. Desakan ini didukung oleh realitas bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Lantas, betulkah konteks mayoritas ini serta-merta menjadikan negara dengan konstruksi sosial multietnik harus berasaskan Islam? Tak jarang diskursus ini menjadi benturan pula antarumat muslim sendiri, sebagai buah dari bedanya persepsi dan pemikiran setiap orang.

 

Melihat fenomena yang kian hari kian memanas itu, tepat hari Jumat (27/7) lalu, Faculty of Arts Monash University mengadakan kuliah umum bersama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar di Monash University kampus Caulfield. Muhaimin yang kerap disapa Cak Imin ini menerangkan perihal kesempatan sekaligus tantangan yang sedang dihadapi oleh para pemimpin muslim di Indonesia di tengah-tengah tuntutan akan terciptanya bangsa Indonesia yang moderen dengan berasaskan Islam. Ia juga memaparkan bagaimana agama Islam berperan dan berkontribusi dalam perkembangan budaya, politik, serta ekonomi di Indonesia selama ini.

Dalam kuliah berdurasi kurang lebih 40 menit itu, Cak Imin menyampaikan bahwa Islam mengakui adanya perbedaan dalam kehidupan. Surah Al-Hujurat ayat 13 dan Ar-Rum ayat 22 dalam Al-Quran menjelaskan perihal keberagaman dalam berbangsa dan bernegara. Perbedaan itu merupakan sunnatullah agar manusia dapat mengenal satu sama lain. Oleh karenanya, ada banyak tradisi persembahan Tuhan dari berbagai agama dan berakar dari kultur suatu bangsa. Sebagai contoh, kegiatan “selamatan” yang merupakan bagian dari ajaran Islam, adalah hasil dari perkembangan kultur peradaban manusia. Itulah salah satu titik ketika agama mengambil perannya dalam hidup berbangsa dan bernegara.

 

Cak Imin menukil fatwa Kyai H. Hasyim Asy’ari tentang hubbul wathan minal imaan, yang berarti “mencintai tanah air adalah bagian dari iman”. “Ini merupakan fondasi kokoh tentang bagaimana Islam sangat menjaga amanah nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara,” tutur Cak Imin. Pancasila yang menjadi rumusan dasar negara yang merupakan buah pikir serta gagasan para nenek moyang kita terdahulu telah relevan dengan ajaran Islam, sebab di dalam Pancasila telah terdapat unsur ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

 

Selain itu, pesta demokrasi yang kian hari kian dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia pasca Orde Baru juga merupakan wujud dari realitas bahwa setiap rakyat di NKRI seharusnya diperlakukan sama tanpa diskriminasi. “Citizens are the subject of the law,” ujar Cak Imin yang juga merupakan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.

 

Di sela-sela wawancara, Cak Imin juga menyampaikan pesan kepada para diaspora Indonesian khususnya mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang saat ini tengah menempuh studi di Australia untuk menjadikan kesempatan belajar ini sebagai ladang untuk belajar mandiri, sehingga “tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan namun juga kemajuan dalam berpikir, bersikap, sekaligus keahlian yang dimiliki,” ucapnya.

 

Teks dan foto: Nudia Imarotul Husna