Mendalami Kepribadian Islam Melalui “Ana Muslim”

Apakah artinya menjadi seorang muslimin? Selain salat lima waktu dalam sehari, membaca dan memahami kitab Qur’an, apakah kita memiliki peran yang lebih sebagai seorang muslimin? Seberapa besarkah peran muslim dalam politik, seni, kemanusiaan dan hukum negara? Sekilas pertanyaan tersebut mungkin terbersit dalam benak pikiran kita semua. Tentu pertanyaan tersebut bukanlah merupakan pertanyaan yang pasti jawabannya. Di tengah kebimbangan ini, pertunjukan seni “Ana Muslim – I am Muslim” mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan pertunjukan drama seni yang mengundang takjub.

Bertempat di gedung Arts West di Melbourne University, aula Forum Theatre dipenuhi penonton-penonton yang mencakup mahasiswa dan masyarakat umum yang tertarik untuk menonton pertunjukan drama muslim persembahan Project 11, University of Melbourne dan Angga Wedhaswhara ini. Tepat pukul 18:00, penonton pun disambut dengan beberapa kata pembuka oleh MC sebelum acara akhirnya dibuka. Berbusana baju dan celana hitam bertuliskan “Muslim Dzimmi”, Angga Wedhaswhara pun menceritakan sejarah dimulainya komunitas Ana Muslim.

“Perjalanan saya dalam membawa komunitas Ana Muslim telah beberapa kali berujung masalah dengan pihak polisi,” jelasnya. Dirinya juga bercerita bahwa dirinya turut turun ke jalan mengenakan baju Muslim Dzimmi dan berdiri membawa karton yang bertuliskan logo Ana Muslim ke jalanan Jakarta di tengah aksi 212. Warna logonya yang menyerupai bendera grup ekstremis pun menangkap perhatian massal – terutamanya polisi. DIrinya pun kemudian didatangi oleh aparat keamanan yang menanyakan apakah dirinya merupakan bagian dari anggota ekstremis. Namun, dirinya kemudian menjelaskan bahwa kata-kata yang tertulis di bajunya berbunyi Ana Muslim dan komunitasnya tidak memiliki sangkut paut apapun dengan grup ekstremis. 

Ilustrasi cerita Angga juga dapat dilihat dari persembahan drama yang dibawa. Berbusana baju, celana dan peci hitam, dirinya pun menghampiri setiap penonton seraya bertanya “Apakah Anda berkenan menjadi pelindung saya?” Sesiapa yang mengiyakannya pun mendapat sebuah cap warna biru di tangan yang menandakan bahwa orang-orang tersebut telah menjadi pelindung dirinya. 

Tidak lama kemudian, dirinya pun berangsur-angsur mencuci baju, celana dan sepatunya sembari melantunkan ayat-ayat Qur’an. Ruangan pun segera dipenuhi dengan bau tajam pemutih. Perlahan-lahan, pakaiannya yang hitam pun luntur dan berganti warna ke coklat. Kadang kala, dirinya pun mencuci kaki, tangan dan wajah dengan air wudhu sembari melantunkan ayat-ayat Qur’an. Tidak lama kemudian, Angga pun kembali mengundang penonton untuk datang dan berbincang dengannya. Namun, kali ini, penonton diajak untuk maju ke depan satu per satu. 

Penonton yang maju pun ditanyakan, ”Setelah Anda melihat semua yang saya lakukan, apakah Anda masih berkenan menjadi pelindung saya?” Jika penonton menjawab iya, penonton pun disemprotkan parfumdi pergelangan tangan sebagai pertanda bahwa mereka telah dianggap sebagai saudara oleh sang Muslim Dzimmi (yang dibawa oleh Angga sendiri). 

Meskipun Angga tidak menjawab secara langsung makna dari drama yang dibawa, penonton pun senantiasa penasaran dengan makna di balik semua yang diperlihatkan. Bahkan, ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai kaitan drama dengan pesan yang ingin disampaikan, Angga hanya menjawab “Setiap orang memiliki tafsiran mereka sendiri terhadap karya seniku. Aku tidak ingin memaksakan hanya sebuah tafsiran yang tampaknay benar. Setiap orang berhak memiliki pengartian mereka sendiri terhadap apa yang mereka lihat.”

Sungguh, mungkin ada pula makna yang lebih dalam dari pernyataan tersebut? Pada akhirnya, hanya dirinyalah yang tahu.

Teks dan foto: Edward Tanoto