Menciptakan Makna Ramadhan di Melbourne

Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat Islam di dunia, tak terkecuali para perantau di Melbourne, Australia. Tahun ini, bulan Ramadhan 1440 Hijriyah jatuh di Melbourne menjelang akhir musim gugur. Hari-hari selama bulan puasa di kota ini diliputi cuaca dingin, mendung, serta sesekali hujan deras berangin kencang, mungkin sangat berbeda dengan cuaca Indonesia yang hampir selalu panas dan cerah. Suasana puasa yang berbeda antara Indonesia dan Australia ini tak hanya soal cuaca, namun juga pengalaman spiritual. Justru ketika berada jauh dari rumah, tak dikelilingi orang tercinta, serta menjadi minoritas, makna bulan Ramadhan lebih terasa dalamnya.

Itulah yang dirasakan oleh Agung Yoga Sembada, dosen jurusan Marketing di Swinburne Business School. Pria asal Bandung ini telah mengalami enam kali berpuasa di Melbourne. Pertama kalinya ia berpuasa di luar negeri adalah di tahun 2010, saat ia sedang menyelesaikan studi. “Sebagai orang yang nggak terlalu sentimental, puasa saya ketika itu lempeng saja seperti biasa, adaptasi juga gampang. Tapi ada satu hal yang kadang saya rindukan, yaitu suara adzan,” tutur bapak dari dua anak ini.

Puasa untuk diri sendiri

Selain kerinduan akan lantunan adzan, pria yang akrab disapa Yoga ini merasakan pengalaman spiritual yang berbeda. Menurutnya, Ramadhan di luar negeri terasa lebih personal ketimbang sosial. “Kalau di Indonesia, ada perasaan bahwa ‘we are all in this together’ karena hampir semua orang berpuasa, ramainya Ramadhan juga terlihat di sana-sini. Sementara di sini, Ramadhan lebih sepi dan cenderung ‘individualis’. Kalau mau minum tengah hari juga nggak ada tahu dan nggak ada yang bakal komentar,” ujar Yoga. Jadi, baginya puasa di luar negeri memberinya lebih banyak kesempatan untuk introspeksi karakter diri sendiri tanpa pengaruh masyarakat dan bagaimana sebenarnya hubungan diri kita sama Tuhan yang kita percayai.

Ujar Yoga, di masa awal berpuasa di luar negeri, ia masih merindukan dimensi sosial dari puasa dan lebaran. Tapi, semakin ke sini, ia semakin menghargai dimensi personal bahwa puasa dilakukan sebagai cara mengasah diri dan sebagai tanda cinta pribadi kepada Tuhan. Ini juga berlaku soal baju baru saat lebaran. “Kalaupun saya pengen beli baju baru lebaran, ya itu murni sebagai ekspresi keinginan pribadi untuk merayakan, bukan untuk membuat orang lain terkesan atau apapun itu.”

Ramadhan yang sepi

Pengalaman tak jauh berbeda dirasakan oleh Rika Nuriana, mahasiswa Master of Education, Monash University. Tahun ini adalah Ramadhan ketiga untuknya. Di tahun pertama ia mengalami bulan puasa di Melbourne, ia merasa sedih karena suasana Ramadhan sama sekali tak terasa di kota ini. Maklum, Islam adalah agama minoritas dan wajar jika tak banyak orang yang “merayakannya”. Rasa kesepian semakin terasa karena saat itu Rika tinggal di area CBD dan jauh dari masjid. Akibatnya, shalat tarawih yang biasanya dilaksanakan beramai-ramai berjamaah di masjid, hanya bisa ia lakukan sendirian di rumah. “Sudah begitu, saat itu saya statusnya bekerja di Melbourne. Pulang ke rumah, badan saya sudah lelah dan tak sempat memasak untuk berbuka puasa atau sahur, jadi kedua aktivitas itu tak bisa saya persiapkan dengan sungguh-sungguh,” katanya lagi.

Di tahun kedua dan ketiga, Rika sudah berganti status sebagai mahasiswa. Menurutnya, ia memiliki waktu lebih untuk memasak makanan buka puasa dan sahur. Namun, tantangan lain sudah menghadang. Tugas-tugas kuliah dan aktivitas lain sebagai mahasiswa ternyata memengaruhi jam tidur dan pola makannya. “Kadang, saya belajar hingga dini hari, lalu tertidur dan kebablasan, melewatkan waktu sahur,” selorohnya.

Menciptakan Makna Ramadhan

Menjadi kelompok minoritas yang berpuasa di Melbourne ternyata memberi kesan tersendiri bagi Rika dan Yoga. Menurut Rika, ia merasa menjadi lebih bersyukur. “Sedari kecil saya terbiasa dengan kemudahan dan perayaan saat Ramadhan. Saya sadar saya harus bersyukur, karena saudara kita sesama muslim di negara lain mungkin tidak seberuntung itu dalam menjalani Ramadhan mereka,” kata Rika.

Selain itu, menjadi minoritas di Negeri Kanguru ini juga membuat Rika sangat menghargai hal-hal kecil yang bermakna. “Suatu ketika, saya pergi naik kereta dengan seorang teman (laki-laki). Di depan kami ada seorang ibu, tampaknya orang Australia. Saat kami akan turun, ternyata si Ibu berkata ‘Happy Ramadan!’ pada saya,” kenang Rika. Ia mengaku kaget, tapi senang luar biasa. Meski saat itu Idul Fitri telah lewat, ia tetap merasa terharu mendapat ucapan seperti itu oleh orang yang tidak ia kenal.

Rasa syukur juga dirasakan oleh Yoga. “Saya bersyukur bisa lebih dewasa menyikapi situasi ketika dunia sekitar itu tidak harus selalu sesuai dengan apa yang kita mau,” ujarnya. Selain itu, menurut Yoga, berpuasa di sini kadang justru lebih bebas karena kita bisa memilih sendiri bagaimana kita ingin memaknai Ramadhan dan memilih lingkungan seperti apa yang kita ingin kita dekati.

Dalam pandangannya, di Indonesia kita mengalami semacam tekanan sosial atau keharusan untuk ikut acara-acara di sana-sini selama Ramadhan. Sementara di sini, kita bisa tentukan sendiri apa yang bermakna bagi kita selama Ramadhan lalu kita jalani sendiri. “Basically, here we have to create our own meaning of Ramadhan,” kata Yoga.

Teks: Pratiwi Utami

Foto: dok. Agung Yoga S dan Rika Nuriana