MENCINTAI NEGARA KITA, DAN MERASA DICINTAI OLEH NEGARA KITA: LOVE OUR NATION AND FEEL LOVED BY OUR NATION

Sekalipun telah menetap di Australia sejak tahun 1970, Dewi Anggraeni selalu aktif menyuarakan kecintaan dan kebanggaannya terhadap Indonesia melalui berbagai karyanya. Novel, cerita pendek, essay, dan buku, diantaranya bertajuk “Who Did This to Our Bali?” dan ‘Breaking the Stereotype: Chinese Indonesian Women Tell Their Stories”, bisa dibilang adalah suara dari concern dan kecinta- annya terhadap Indonesia.Sebagai jurnalis Indonesia di Australia, membuat Dewi telah terbiasa menggunakan cara pandang yang lebih luas dan luwes dalam memandang permasalahaan dikedua negara, Indonesia dan Australia.

Bagi Dewi, nasionalisme yang baik adalah nasionalisme sadar (informed nationalism). “Rasa nasionalisme tanpa sadar, seringkali berbentuk nasionalisme defensif, sangat mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk dirinya atau politiknya untuk memerangi musuh mereka. Kita jadi terbetot ke dalam suatu seng- keta yang sebenarnya tidak perlu,” paparnya.

Rasa nasionalisme yang tinggi, akan mampu menyatukan perbedaan antar kelompok, golongan, agama, dan lain-kain. Untuk itu nasional- isame sangat diperlukan bagi Indonesia yang pluralis. Tapi itu semua tentu saja bukan tanpa tantangan. Terutama dalam menanamkan rasa nasionalisme kepada generasi muda. Menurut Dewi, bila pema- haman mengenai nasionalisme terlewat dari masa kecil di keluarga, dianjurkan kepada anak-anak muda untuk mau membaca fiksi ber- mutu dari Sastra Indonesia, dan juga tulisan-tulisan non-fiksi menge- nai sosial budaya Indonesia. “Fiksi akan menjangkau dan meraih batin kita, sedangkan buku-buku non-fiksi menggerakkan dan melatih daya pikir kita,” jelas Dewi yang merupakan koresponden Australia untuk majalah Tempo, Jakarta Post, Forum Keadilan, dan sampai saat ini juga masih aktif sebagai penulis kolom regular di Tempo English.

Dewi memandang generasi muda Indonesia saat ini sudah sangat cosmopolitan dan dan mampu berpikir terbuka. Namun Dewi merasa perkembangan yang baik tersebut masih perlu didampingi dengan kemampuan dalam menggunakan Bahasa dengan baik. Bagi Dewi yang mempunyai latar belakang pendidikan dari Universitas Indone- sia dan La Trobe, “Semakin luas jangkauan wawasan dan pergaulan kita, semakin perlu kita menyampaikan perasaan dan pendapat

kita dengan efektif dan akurat. Kalau kita tidak dapat menggunakan bahasa dengan baik, daya komunikasi kitapun luntur. Selain itu juga diperlukan keluwesan untuk dapat memakai bahasa sesuai tujuan dan konteksnya. Bahasa dalam menulis makalah atau menyampaikan presentasi, tentunya berbeda dengan bahasa gaul yang kita pakai saat bersantai bersama sahabat. Itu semua agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan efektif.”

Dewi optimis anak-anak muda Indonesia masih mempunya sikap nasionalis yang tinggi. “Cuma saya harap mereka juga menyerap nasionalisme luwes, yang tidak cepat menjadi agresif atau defensif, karena itu hanya akan memancarkan aura negatif ke sekitarnya,” ujar Dewi memberi masukan. Dewi menekankan bahwa idealnya cinta dan bangga terhadap tanah air harus berjalan dua arah. “Kita dengan sendirinya merasa cinta dan bangga terhadap tanah air, apalagi kalau kita tinggal di negeri lain. Namun dari tanah air juga mesti ada upaya untuk meraih kita, menunjukkan bahwa Ibu Pertiwi tetap mencintai dan bangga pada kita. Dari situlah rasa nasionalisme tetap dapat dipupuk dan kuat dimanapun kita berada”, pungkas Dewi menutup obrolan.

Although Dewi Anggraeni has been settled in Australia since 1970, she has remained active in voicing her love and pride for Indonesia through various works. Novels, short stories, essays and books, among them titled “Who did this to our Bali?” and “Break- ing the Stereotype: Chinese Indonesian Women Tell Their Stories”, arguably demonstrates her concern and love for Indonesia. As an In- donesian journalist in Australia, Dewi is already used to coming from a broader perspective and looking at the problem in both countries, Indonesia and Australia.

For Dewi, good nationalism is informed nationalism (nasionalisme sadar). “This feeling of nationalism is involuntary, often in the form of defensive nationalism, it is easily manipulated by those who use it for their own gain or politically to fights against their enemies. We are caught up in an unnecessary dispute,” she said.

A strong sense of nationalism will help to unite the differences be- tween groups, classes, religions and others. For that nationalism is necessary for a pluralist Indonesia. But of course it’s not something without challenge. Particularly in instilling a sense of nationalism to the younger generation. According to Dewi, when that understanding of nationalism is overlooked from childhood in the family, encourag- ing the young children to read about Indonesian culture. “Fiction will reach out and grab our soul, while books of non-fiction mobilise and inform our thinking,” explained Dewi who is the Australian correspon- dent for Tempo, Jakarta Post, the Justice Forum, and until today is still active as a regular columnist for Tempo English.

Dewi considers the younger Indonesian generation very cosmo- politan and able to think openly. However, Dewi feels these positive developments still need to be accompanied by the ability to use language well. For Dewi whose educational background is Universitas Indonesia (University of Indonesia) and La Trobe University, “The broader range of insight and intercommunication, the more we need to convey our feelings and our opinions effectively and accurately. If we cannot use language well, the power to communicate will fade. It is also necessary that the language used matches the purpose and context. The language in writing a paper or delivering a presentation is of course different with the informal language we use amongst friends. That’s all addressing the way we convey messages can be received effectively.”

Dewi is optimistic young Indonesians still have an attitude of high nationalism. “I only hope they also absorb flexible nationalism, which doesn’t quickly become aggressive or defensive, because it will not give a negative aura around them,” Dewi added. Dewi emphasised that ideally the love and pride of the homeland should go both ways. “We naturally feel the love and pride of the homeland, especially if we live in another country. But Indonesia must also make an effort to reach us, show us that Mother Nature should still love and be proud of us. From their the sense of nationalism remains strong and can be fostered wherever we are,” said Dewi to end our discussion.

Dewi anggraeni_restingDewi Anggraeni

Writer, Journalist, Lecturer and Cultural Observer