Media di Masa Pandemik

Di tengah situasi wabah COVID-19 dengan penyebaran berskala global, media sebagai sarana penyampaian informasi mengambil peran yang sangat krusial. Anjuran untuk pembatasan sosial (social distancing) dan tinggal di rumah (stay at home) membuat media menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. Ketergantungan masyarakat akan penggunaan media selama masa krisis ini menarik untuk dianalisis dari berbagai perspektif. Hadirnya media menawarkan segala kemudahan, namun tak jarang juga menyulitkan bahkan menjebak penggunanya. Kita terbawa arus lautan informasi hingga terjerumus dalam misinformasi. Jika pandemik berdampak pada kondisi kehidupan masyarakat secara masif, bagaimana dengan infodemik yang juga menyebar secara aktif?

Aktifitas di luar rumah yang terbatas menyebabkan terhentinya sistem sosial dalam berbagai aspek. Pemerintah mengeluarkan aturan untuk menutup pusat keramaian dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan bisnis retail tetap buka dengan waktu operasional, jumlah pembeli dan jumlah pembelian produk yang dibatasi. Ironinya, misinformasi terkait isu kesehatan di media sosial memicu terjadinya panic buying yang diikuti dengan menimbun barang (hoarding) sehinggaharga melambung tinggi dan stok barang menipis. Kepanikan masyarakat untuk membeli obat-obatan, hygiene products dan alat-alat kesehatan dengan berlebihan menyebabkan kelangkaan barang yang dibutuhkan tenaga medis. Media seharusnya menjadi sarana edukasi tentang fakta penting COVID-19, bukan disalahgunakanuntuk fear-mongering, penyebar rumor yang berlebihan dan memanipulasi ketakutan masyarakat.

Bisnis restoran dan cafe yang biasanya dibanjiri pengunjung setiap harinya kini terpaksa ditutup dan hanya melayani pemesanan atau take away. Menurunnya tingkat pembelian pada restoran dan cafe ini disiasati dengan adanya layanan pesan-antar. Dengan sistem delivery service ini, para pelanggan tetap dapat menikmati menu dari restoran favoritnya tanpa harus keluar rumah. Namun, kemudahan dalam memesan makanan ini sangat berpengaruh pada meningkatnya pemborosan alih-alih membantu restauran agar bisnisnya tetap berjalan. Bahkan, sistem ini juga beresiko bagi kesehatan penyedia jasa pesan-antar yang masih harus beraktifitas di luar rumah untuk mengantarkan pesanan.

Melihat dari sisi positifnya, media juga lah yang memacu semangat masyarakat untuk mendukung peraturan pemerintah dalam pembatasan sosial berskala besar dan menerapkan pola hidup sehat. Kampanye mencuci tangan, konser musik #dirumahaja yang diselenggarakan oleh para musisi, imbauan untuk berdonasi serta limpahan apresiasi bagi para relawan dan tenaga medis dalam berjuang melawan virus corona. Melalui gerakan sosial dan sarana donasi online, banyak influencer dan public figure memanfaatkan momen ini untuk mengumpulkan dana bantuan dan saling berbagi. Meningkatkan kepedulian masyarakat adalah bahan bakar bagi media untuk terus menyajikan optimisme pada setiap berita baik serta menjalin kebersamaan dalam situasi penuh ketidakpastian ini.

Institusi pendidikan yang menerapkan study from home beralih memanfaatkan media online learning untuk belajar jarak jauh. Perubahan ini seiring dengan meningkatnya penggunaan video conference platform seperti Zoom, Google Meet, Duo, Skype dan lainnya. Para pelajar maupun tim pengajar seperti dosen dan guru dituntut selalu siap dengan fasilitas kelas daring berupa perangkat dan koneksi yang memadai. Banyak juga lembaga pendidikan yang memberikan akses gratis untuk belajar selama pandemik. Bayangkan jika proses belajar terhenti jika tidak ada media yang dapat memfasilitasi?

Pada sisi lain, berkegiatan di rumah memberi peluang untuk sedikit bersantai dan mencari hiburan. Maraknya media penyedia film berlangganan seperti Netflix, Prime Video, Hulu dan entertainment platforms lainnya berupa siaran TV, musik dan permainan menjadi distraksi tak terhindarkan bagi banyak orang. Proses belajar anak menjadi tidak efektif, aktifitas bekerja menjadi kurang produktif. Belum lagi jika terjadi hambatan teknis seperti koneksi yang tidak stabil dan kendala komunikasi. Kelemahan pada media ini dapat mengancam kenyamanan proses belajar dan bekerja dari rumah. Untuk itu, kita harus menemukan cara produktif serta kreatif dalam menyikapi perubahan rutinitas.

Berkurangnya interaksi tatap muka seiring dengan meningkatnya intensitas penggunaan media online. Relasi media dengan masyarakat selama masa pandemik yang semakin erat menciptakan fenomena sosial baru. Menurut David Mindich dalam buku The Mediated World, “media influence both our personal lives and the condition of the world, from personal to social, from scary to comforting.” Kecanduan manusia berinteraksi secara virtual membentuk perilaku yang serba cepat dan instan, yang justru membahayakan. Kecenderungan mengonsumsi media tanpa diseleksi, membaca berita hanya dari judul saja, terbiasa menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya atau hoax tanpa verifikasi terlebih dahulu adalah gejala-gejala kurangnya literasi media yang berdampak signifikan.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom menegaskan, “We’re not just fighting an epidemic; we’re fighting an infodemic.” Dalam menyikapi fenomena infodemik yakni membanjirnya beragam informasi di masa pandemik, penting membiasakan diri untuk saring informasi sebelum sharing. Pastikan untuk membagi informasi dari sumber yang valid dan terpercaya seperti situs WHO, pemerintah dan lembaga formal yang resmi. Dengan menjaga kesehatan fisik dari pandemik dan juga kesehatan mental dari infodemik, besar harapan kita untuk dapat melewati situasi ini dengan segera. 

Teks: Evelynd
Foto: Berbagai sumber