Mati Diracun

Kenangan terhadap salah seorang pejuang gigih Hak Asasi Manusia (HAM), almarhum Munir Said Thalib, selalu muncul dalam bulan September. Sebagaimana dilaporkan sebuah media terkemuka di Indonesia, Munir dibunuh dalam penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004. Ia tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat. Hasil otopsi kepolisian Belanda dan Indonesia menemukan penyebab tewasnya Munir adalah karena racun arsenik.

Banyak yang meyakini bahwa sesungguhnya kasus Munir masih belum tuntas terungkap. Dan nampaknya pembunuhan dengan racun ini akan terus berlangsung, karena dianggap bukan saja paling ampuh, melainkan juga sulit untuk dilacak. Tidak mengherankan bahwa racun pernah menjadi salah satu cara terampuh untuk menghabisi nyawa orang lain, dan memang yang namanya manusia sudah sejak dahulu kala suka meracuni satu sama lain– apalagi ketika belum ada kemampuan manusia untuk melacak racun sebagai sebab kematian.

Kasus percobaan pembunuhan dengan racun terbaru adalah yang dilampiaskan atas diri tokoh oposisi tidak resmi Rusia, Alexei Navalny, yang begitu gigih melancarkan perjuangan anti-korupsi di Rusia, dan sekaligus merupakan tokoh oposisi paling bersemangat atas kekuasaan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Karena keberaniannya yang “kelewatan”, antara lain dengan menjuluki partai Presiden Putin sebagai “sarang penyamun dan penjahat”, ia, begitu diduga kuat, akhirnya diracun ketika sedang menunggu pesawat di sebuah terminal di Rusia, di mana teh yang diteguknya ternyata telah “dibumbui” dengan racun dahsyat buatan Rusia, Novichok.

Dokter yang merawatnya di Rusia mengatakan tidak ada gejala bahwa ia telah diracun, namun ketika Jerman berhasil meminta agar Alexei Navalny dibawa ke rumah sakit di Jerman, para dokter menemukan sisa-sisa racun Novichok dalam dirinya.

Memang nasib seorang pejuang anti korupsi boleh dikatakan rata-rata mirip.

Kita mengetahui bagaimana salah seorang penyidik gigih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, sampai rusak mata kirinya karena disiram air keras ketika dalam perjalanan kembali ke rumah setelah menunaikan salat subuh di masjid. Kasus Novel Baswedan ini sangat alot dan baru terungkap setelah terjadi pergantian kepala polisi Republik Indonesia, setelah lebih dua tahun menjadi apa yang di negara-negara Anglo Saxon, seperti Australia, dijuluki sebagai “cold case” –kasus peti es.

Kebetulan dalam bulan September ini, saluran televisi SBS Australia, menayangkan drama empat babak, “The Salisbury Poisonings”, hasil karya BBC Inggris, selama empat malam berturut-turut, tentang kasus percobaan pembunuhan dengan racun Novichok terhadap seorang mantan agen intelijen Rusia yang kemudian mendapat suaka di Inggris, Sergei Skripal dan anak perempuannya, Yulia.

Dalam sinetron yang sangat layak ditonton itu, BBC mencoba menyuguhkan suatu cerita/dokumenter berdasarkan kasus yang sebenarnya, dan dalam sinetron ini dapat disimpulkan betapa dahsyatnya keampuhan racun Novichok yang dikesankan merupakan senjata paling disukai Rusia dalam upayanya membungkam mereka yang dianggap sebagai oposisi, meskipun sudah tidak lagi berada di Rusia. Racun lainnya yang kabarnya tidak kalah ampuhnya adalah polonium.

Dan belum lama berselang masyarakat di Indonesia juga digemparkan dengan kasus pembunuhan dengan racun yang dilancarkan oleh seorang perempuan Indonesia bernama Jessica, terhadap sahabatnya di Indonesia bernama Mirna. Kesimpulan polisi adalah Jessica membubuhi minuman yang diteguk Mirna dengan sianida.

Namun barangkali dalam perihal kemasyhuran –payah dicari tolok bandingnya– kasus hukuman harus meneguk racun yang dijatuhkan dewan juri sebanyak 500 orang di Athena, Yunani kuno, atas diri filsuf Socrates. Jadi kasarnya, Socrates diamarkan oleh pengadilan agar membunuh dirinya sendiri, dengan meminum racun bernama hemlock.

Sekitar tahun 400 SM, Socrates yang kala itu berusia 70 tahun, didakwa telah merusak akhlaq anak-anak muda Yunani dan tidak bersedia percaya pada para dewa yang diakui negara. Socrates diberi waktu tiga jam untuk membela dirinya.

Socrates yang memang sangat populer di kalangan kaum muda di Yunani waktu itu, juga karena sikap anti-demokrasinya, ternyata tidak mampu meyakinkan mayoritas anggota dewan juri. Sehingga 280 dari 500 anggota dewan juri menyatakan dirinya bersalah. Dan hukuman yang diatur dalam undang-undang Yunani waktu itu adalah meneguk racun hemlock.

Socrates mati di tangannya sendiri.

Sungguh banyak kisah tentang perbuatan meracuni yang dicatat dalam sejarah. Di antaranya yang pernah terjadi di sebuah desa kecil di Hongaria bernama Nagyrev, yang dalam tahun 1911 menampung seorang pendatang bernama Julius Fazekas, yang juga berprofesi sebagai seorang bidan. Tidak banyak yang diketahui tentang jati diri bidan Fazekas ini. Suaminya menghilang secara gaib laksana ditelan bumi tanpa ada yang tahu karena apa dan di mana kuburnya. Namun Fazekas disambut hangat karena dia adalah satu-satunya penghuni desa yang punya ketrampilan kesehatan, yakni sebagai bidan.

Sehabis Perang Dunia I, sejumlah penduduk Desa Fazekas yang ikut panggul senjata akhirnya mudik, dan banyak di antara mereka yang ternyata membawa serta trauma ke rumah tangganya. Banyaklah istri dan anak yang harus merawat ayah/suami yang cacat, traumatis dan suka melakukan kekerasan (KDRT), padahal sebelumnya mereka adalah suami/ayah yang penuh kasih sayang pada keluarga. Banyak istri yang kemudian mengadukan nasib mereka kepada sang bidan, Fazekas. Tidak sia-sia, karena ternyata Fazekas punya cara tersendiri untuk mengatasi segala ulah para suami/ayah yang berubah sikap, dari pengasih menjadi pemberang itu.

Fazekas merebus kertas perangkap lalat di rumahnya dan kemudian mengambil zat arsenik yang menjadi bagian dari perangkap tersebut, yang kemudian dibagi-bagikannya kepada para istri yang membutuhkannya, dengan syarat racun arsenik tersebut tidak boleh diberikan kepada anak-anak, perempuan lain dan lelaki yang diketahui masih mampu memberikan kasih sayang kepada istrinya. Namun akhirnya syarat tersebut dilupakan, dan demi dendam atau kebencian yang sudah lama dipupuk, segala larangan itu dilanggar. Banyaklah yang bermatian tanpa jelas sebab musababnya di Desa Nagyrev, karena waktu itu ilmu kedokteran masih belum mampu mengungkapkan ulah racun dalam kematian manusia, paling tidak di desa tersebut.

Barulah ketika cacah jiwa diselenggarakan dalam tahun 1929, pihak berwenang menjadi curiga karena begitu banyak penduduk desa tersebut yang ternyata sudah kembali ke alam baka. Akhirnya 12 orang perempuan dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan, sementara jumlah korban jiwa yang jatuh ditaksir mencapai 300 orang.

Di Jepang lain lagi ceritanya. Gegara kultus pribadi, seorang bernama Shoko Asahara berhasil membujuk para pengikutnya untuk mengakuinya sebagai Kristus yang terlahir kembali dan sekaligus sebagai penjelmaan Gautama Buddha zaman modern. Kelompok yang kemudian menamakan dirinya sebagai Aum Shinrikyo ini dalam tahun 1989 diakui resmi sebagai sebuah agama.

Pada tanggal 20 Maret 1995, gerakan Aum Shinrikyo melancarkan serangan terkoordinasi di sejumlah stasiun kereta api di Jepang dengan menggunakan racun rasin yang merupakan gas syaraf beracun yang dikembangkan oleh Nazi Jerman. Dalam serangan tersebut hamper 6 ribu orang teracuni, 13 di antaranya tewas. Gerakan ini diyakinkan oleh pimpinannya bahwa hanya mereka yang akan selamat dalam Perang Dunia III. Dalam tahun 2018, Shoko Asahara serta 7 petinggi gerakan itu dieksekusi, namun gerakan ini kabarnya masih diperbolehkan meneruskan kegiatannya di Jepang.

Lalu di abad ke-21 ini, bagaimana dengan kasus Munir Said Thalib?

Sebuah laproan media di Indonesia baru-baru ini menyebutkan:

“Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menilai, 16 tahun setelah pembunuhan (Munir), penyelidikan independen tak mengalami kemajuan untuk menemukan pelaku utama kasus ini. Kontras meyakini dalang di balik pembunuhan berasal dari kalangan berpengaruh dan sampai sekarang belum dibawa ke pengadilan. Hal ini membuat publik mempertanyakan komitmen pemerintah untuk melindungi pembela HAM,” kata peneliti Kontras, Rivanlee, beberapa waktu silam.

Komite Aksi Solidaritas untuk Munir dan perwakilan 11 organisasi mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia guna menyerahkan legal opinion kasus Munir. Mereka mendesak agar status kasus ini diubah menjadi pelanggaran HAM berat. Ada kemungkinan sementara, kalangan berpendapat bahwa perbuatan meracuni pejuang gigih HAM itu adalah suatu ketidaksengajaan, jadi ibaratnya “yang sudah, sudahlah yang akan datang bikin lagi”. Wallahu a’lam.


Penulis : Nuim Kaiyath