Literasi Iklim Dan Lingkungan – The Key to a Greener Future

Tanggal 22 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Bumi (Earth Day). Hari tersebut menjadi momen yang tepat bagi banyak komunitas dan organsasi masyarakat untuk melaksanakan gerakan sosial, kampanye, selebrasi dan juga kegiatan peduli lingkungan di berbagai belahan dunia. Salah satu fokus dalam aksi Hari Bumi yaitu pada literasi iklim dan perannya untuk ketahanan iklim dan pekerjaan ramah lingkungan. Pentingnya literasi iklim yang terus meningkat juga perlu diimbangi dengan memperluas eksposurnya di berbagai media. 

Aktivis lingkungan mendorong pendidikan wajib perubahan iklim di seluruh dunia sebagai bagian dari Paris Agreement. Presiden earthday.org, Kathleen Rogers, menjelaskan bagaimana literasi iklim adalah kunci untuk membangun tenaga kerja yang lebih go green dan gerakan konsumen yang akan membantu mengatasi perubahan iklim. Rogers berharap akan ada kesepakatan tentang pendidikan iklim pada konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Glasgow pada November ini. 

Bersama Sharan Burrow, sekretaris jenderal International Trade Union Confederation, Rogers menyuarakan dukungannya untuk pendidikan wajib, iklim dan lingkungan yang dinilai dengan komponen keterlibatan sipil dalam kurikulum sekolah dan meningkatkan kesadaran tentang Kampanye Iklim dan Literasi Lingkungan.

Menuju literasi iklim dan lingkungan di negara-negara Arab

Media Arab Asharq Al-Awsat menekankan perlunya skala yang lebih besar dari literasi iklim dalam kurikulum sekolah di Arab. Untuk sekarang ini, pendidikan lingkungan yang baru-baru ini meningkat di sekolah-sekolah Arab terfokus pada topik yang lebih kecil dan terkesan mengabaikan masalah yang lebih besar seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan.

Arab Forum for Environment and Development (AFED) membuat peta jalan untuk membantu mengintegrasikan literasi iklim ke dalam kurikulum sekolah dan universitas di Arab. Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk memberikan siswa pemahaman yang lebih baik tentang konsep lingkungan yang dapat mereka kaitkan dengan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan lokal.

“Tidak akan ada tempat di pasar kerja baru untuk orang yang tidak memiliki literasi iklim dan lingkungan,” papar Najib Saab, sekretaris jenderal AFED.

Literasi krisis iklim sebagai pusat dari sistem pendidikan di Afrika Selatan

Afrika Selatan adalah penghasil gas rumah kaca terbesar di benua itu. Namun, negara tersebut tidak dapat melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke energi hijau karena meningkatnya hutang negara. Hal ini menjadikan transisi berbasis non-moneter sebagai opsi terbaik untuk membantu mengurangi jejak karbon negara. Literasi iklim adalah strategi non-moneter untuk mencapai emisi yang lebih rendah untuk melawan perubahan iklim di wilayah krisis iklim tersebut.

Sekolah-sekolah di seluruh dunia sedang berupaya menerapkan pendidikan iklim ke dalam kelas dan kurikulum untuk membantu mengatasi krisis iklim. Memperluas kurikulum lingkungan di sekolah akan memungkinkan kaum muda untuk memperoleh pengetahuan tentang literasi iklim dan berbagi informasi dengan komunitas dan keluarga. Dampak perubahan iklim paling dirasakan oleh penduduk rentan, sehingga penting untuk membangun masyarakat yang melek iklim melalui literasi. 

Untuk itu, komitmen dari atas ke bawah yang diamanatkan untuk melek iklim secara resmi perlu ditingkatkan. Ambisi yang meningkat pada literasi iklim akan memainkan peran penting dalam mencapai emisi nol bersih dan akan memberikan perspektif dan solusi unik kepada generasi berikutnya untuk masalah lingkungan. Ayo menjadi bagian dari warga negara yang melek iklim! 

Teks: Evelynd 

Foto: Pixabay