Lain Lubuk Lain Pula Ikannya

Pepatah di atas yang menjadi judul tulisan kali ini memang sangat tepat.

Manusia pada hakikatnya memang merupakan makhluk dari kelompok atau keluarga yang sama – Homo Sapiens. Namun biar begitu, kesamaan tadi ternyata sangat terbatas. Jikalau diperkenankan, penulis ingin mengutip ayat-ayat kitab suci umat islam, Al-Qur’an, yang menerangkan tentang perbedaan-perbedaan antara sesama manusia.

Misalnya dalam Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13:

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Berbangsa-bangsa dan bersuku-suku mengisyaratkan serupa tapi tidak sama, bukan saja dalam perawakan dan tampang tapi juga dalam adat istiadat.

Dalam bagian lain Al Qur’an, kali ini dalam Surah Ar-Rum ayat 22 perbedaan ini dirinci lebih spesifik lagi:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kejadian langit dan bumi serta berlainan bahasa dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang-orang yang berilmu.”

Segala ini terkenang kembali ketika penulis mendengar bahwa pemerintah Australia akan berusaha menyediakan tenaga-tenaga ahli ilmu jiwa – psikolog – dari berbagai jenis latar belakang/budaya untuk melayani mereka (banyak di antaranya anak muda) yang gegara pembatasan yang dikenakan oleh berbagai pemerintah negara bagian di Australia dalam rangka upaya membendung penyebaran virus corona, mengalami gangguan jiwa/mental.

Rupanya pada awalnya ada anggapan bahwa yang namanya gangguan jiwa itu “sami mawon”.

Siapa pun yang terkena atau dihinggapinya maka obatnya alias penawarnya sama saja. Seperti obat peredam rasa sakit Panadol dan sejenisnya – biar kepala siapa saja yang pusing, biasanya dan umumnya kalau sudah makan Panadol bisa cepat pulih. Ternyata dalam perihal gangguan jiwa/mental, keadaannya tidak sama. Perlu pendekatan budaya juga, disamping pendekatan ilmu kejiwaan; begitu kira-kira kesimpulannya.

Penulis terkenang, pernah ketika baru sampai di Australia dalam berbincang-berbincang dengan kawan-kawan orang Australia, termasuk salah seorang di antaranya psikiater, menuturkan bagaimana seorang (waktu itu satu-satunya) dokter jiwa di Medan merawat orang-orang yang sakit jiwa. Mereka tercengang dan hampir tidak percaya ketika penulis kisahkan:

“Menurut yang saya dengar dari orang yang pernah meninjau ke rumah sakit jiwa itu, para pasien akan diuji kesehatan jiwanya dengan ditugasi mengisi tong yang bolong dengan air dari sumur. Berapa banyak pun air yang ditimba dari sumur itu lalu dituangkan, tong yang bolong itu tidak akan penuh. Pada akhirnya akan ada seorang pasien yang akan melaporkan kepada sang dokter bahwa tong itu tidak mungkin penuh karena bolong hingga airnya akan langsung hilang begitu dituangkan ke dalam tong tersebut. Nah apabila ada pasien yang mampu membuat “rasionalisasi” ini maka dia akan dianggap sudah mulai membaik dan menjalani terapi lain.

Bagi orang Australia, terutama sang psikiater, terapi seperti ini memang tidak ada dalam buku Sigmund Freud (yang oleh banyak orang di Barat dianggap sebagai salah seorang bapak ilmu jiwa). Lain padang lain belalangnya.

Jelas terapi seperti itu bukan saja tidak bakalan diterapkan di Australia, melainkan juga sama sekali tidak dikenal.

Alhasil perbedaan budaya, adat istiadat, kebiasaan dan lain-lain sejenisnya antara Indonesia dan Australia – begitu pula antara Asia dan Eropa (Barat) –  umumnya memang dapat menimbulkan gesekan atau salah pengertian.

Antropolog Amerika Clifford Geertz dalam kupasannya tentang “laga ayam” khususnya di Bali, menafsirkan bahwa dalam hubungan antara si jago dengan pemiliknya ada konotasi alat tubuh vital lelaki.

Kepada pengusung teori ini di Australia, penulis pernah menanyakan apakah ada konotasi serupa ketika seorang perempuan “Barat” memasukkan sosis ke dalam mulutnya? (Waktu itu sosis belum begitu dikenal di Indonesia).

Ia sangat gusar dan menuduh penulis melihat yang bukan-bukan dalam suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan sesuatu yang dilakukan oleh setiap makhluk yang hidup – makan.

Itulah dia lain lubuk lain pula ikannya, seperti kisah berikut ini:

Suatu kali, seorang miliarder Amerika mendatangi sebuah desa di Afrika Barat. Miliarder Amrik ini tidak mau memberi bantuan begitu saja kepada masyarakat miskin di Afrika, melainkan ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri kemiskinan mereka, agar dapat merasakannya secara langsung. Ia tiba Jumat pagi dan memarkir mobilnya di samping rumah kepala desa yang menyambutnya dengan menyuguhkan air kelapa. Mereka duduk berbual-bual di luar rumah.

Ketika itu sang miliarder melihat begitu banyak anak-anak yang semuanya membawa botol plastik besar berduyun-duyun pergi ke luar desa.

“Mau kemana anak-anak ini?” tanya sang miliarder.

“Oh, mereka akan mengambil air dari sungai untuk keperluan keluarga. Saban Jumat sekitar jam sekarang ini, mereka akan ke sungai, perjalanan yang akan memakan waktu seluruhnya dua jam. Setelah itu barulah mereka ke sekolah,” kata Kepala Desa Afrika itu.

Mendengar “kemelaratan” ini langsung sang miliarder mendapat akal: bahwa desa ini sangat memerlukan pompa air, suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Ia memutuskan bukan saja untuk membuat pompa di desa yang dikunjunginya itu melainkan juga di sejumlah desa dikawasan tersebut. Pada hematnya, dengan demikian anak-anak tadi dapat bersekolah, memperoleh pendidikan dan di masa depan hidup berkecukupan. Segala pikiran ini disimpannya untuk dirinya sendiri, begitu tiba kembali di Amerika, ia menginstruksikan badan amalnya utuk memasang pompa di berbagai desa, dengan persetujuan pemerintah pusat di negara itu tentunya.

Badan amal tadi mengerahkan sejumlah konsultan, insinyur dan tenaga-tenaga ahli setempat untuk melaksanakan apa yang disebutnya “prakarsa strategis” itu. Dikatakan strategis karena dengan demikian dapat dipastikan bahwa anak-anak di berbagai desa di negara Afrika Barat itu niscaya akan dapat sepenuhnya khusyuk menuntut ilmu. Jelas pompa-pompa air itu akan menjadi kendaraan perubahan, demi kebaikan.

Setahun kemudian sang miliarder kembali ke desa yang pernah dijenguknya itu, tepat pada Jumat pagi. Kepala desa beserta para ninik mamak/tetua desa ikut menyambutnya dan menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga kepadanya atas kedermawanannya, membuat pompa air di desa tersebut.

Pompa air di desa itu kelihatan kilat kemilau. Sang tamu dan para tuan rumah duduk berbincang. Tidak lama kemudian, kembali terlihat anak-anak dengan botol-botol plastik yang besar, berduyun-duyun menuju ke sungai – perjalanan yang memakan waktu dua jam, pergi-pulang. Semula sang miliarder menduga bahwa mereka akan menuju ke pompa yang telah dipasang dengan bantuan keuangannya itu, namun ia tercengang ketika melihat anak-anak tersebut terus berlalu menuju ke sungai.

“Ada apa ini?” tanyanya kepada kepala desa. “Apakah pompa ini tidak bekerja?”

Sang kepala desa setengah berbisik menjelaskan kepada sang miliarder:

“Tuan dermawan,” kata kepala desa. “Niat dan tujuan Anda sungguh mulia, tapi Anda lupa bertanya kepada kami apakah kami membutuhkan pompa air di desa ini. Bukankah Anda sudah melihat bagaimana kecil dan sempitnya rumah penduduk di desa ini. Kami umumnya punya banyak anak dan kami umumnya, semuanya, tidur dalam kamar yang sama di malam hari. Kami menyuruh anak-anak kami mengambil air di sungai yang memerlukan perjalanan pergi-pulang dua jam saban Jumat pagi, agar para suami isteri di desa ini punya kesempatan berada hanya berduaan dan melakukan apa yang umumnya dilakukan oleh suami isteri di mana pun di dunia ini (bersetubuh), ketika anak-anak sedang berada jauh dari rumah.”

Sang miliarder tercengang namun akhirnya paham, bahwa keadaan di sebuah desa di Afrika Barat tidaklah sama dengan keadaan di negerinya.

Itulah dia, barangkali, salah satu contoh dari lain lubuk lain pula ikannya. Wallahu a’lam.