Kisah Tentara Indonesia Belajar di Australia

Kerja sama pemerintah Indonesia dan Australia dalam bidang pendidikan sangatlah kuat. Setiap tahun, ribuan mahasiswa asal Indonesia berangkat ke Australia untuk melanjutkan kuliah (dari jenjang Sarjana, Master, hingga Doktoral), baik dengan beasiswa dari pemerintah Indonesia maupun Australia. Namun, ternyata bukan hanya mahasiswa “sipil” saja yang berbondong-bondong kuliah ke Negeri Kangguru ini. Perwira militer Indonesia pun berkesempatan mengenyam pendidikan di the Downunder. Simak kisahnya berikut ini!

Program Pendidikan bagi Personel Militer

Setiap tahun, para personel militer Indonesia dikirim ke Australia untuk melaksanakan pendidikan master. Namun, sebelum benar-benar memulai kuliah, mereka akan menjalani pelatihan dulu di Defense International Training Center (DITC). DITC adalah institusi Australian Defence Force yang berlokasi di RAAF Williams, Laverton, Victoria yang mengemban misi memperkenalkan bahasa Inggris, kehidupan, sekaligus kebudayaan Australia bagi seluruh personel militer yang akan melaksanakan kursus, pendidikan ataupun kegiatan lain di Australia. Selain itu, DITC juga mengadakan pendidikan Bahasa Inggris yang ditujukan untuk personel militer yang berkemampuan menjadi instruktur bahasa di negerinya masing masing.

Pada dasarnya, siswa yang berada di dalam DITC datang silih berganti. Sebab, setelah selesai melaksanakan pendidikan di DITC, mereka akan melanjutkan pendidikan di lokasinya masing-masing. Bagi yang kegiatannya di Australia, hanya dalam hitungan minggu atau kurang dari tiga bulan (short-term) setelah program pengenalan Austfamil, mereka akan langsung menuju ke lokasi kegiatan selanjutnya, antara lain Puckpapunyal. Akan tetapi, bagi yang akan melaksanakan pendidikan setingkat Lemhanas (DSSC), Sesko Angkatan (ACSC), dan program pendidikan setingkat S2 (CTMP), mereka akan melanjutkan dengan kursus singkat persiapan pendidikan (ADC Preparation).

Untuk tahun 2018, ada tujuh orang siswa TNI yang sedang melaksanakan program ADC Preparation sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan selanjutnya. Mereka adalah Kolonel Inf. Yotanabey, Kolonel Pnb Azhar, Kolonel Mar. Pangestu, Mayor Inf. Leo Sugandi, Mayor Laut (P) Topan Agung Yuwono, Mayor Pnb. Pandu Eka Prayoga, dan saya sendiri. Sebelum dikirim untuk belajar di Australia, kami telah melewati seleksi di Indonesia, yang termasuk di antaranya penilaian kemampuan Bahasa Inggris melalui tes IELTS.

Program DSSC, ACSC, dan CTMP akan dilaksanakan selama kurang lebih satu tahun di ADC dan ADFA, berlokasi di Canberra dan dimulai tahun depan. Ketiga program tersebut merupakan hasil kerja sama pertahanan antara Pemerintah Australia dan Indonesia dalam skema Defence Cooperation Program (DCP). Program pendidikan DSSC, ACSC, dan CTMP bekerja sama dengan universitas di Australia, sehingga lulusannya akan mendapatkan gelar Master (Strata-2). Untuk pendidikan DSSC atau setingkat Lemhanas, para siswa akan melaksanakan pendidikan di ADC yang berafiliasi dengan Deakin University. Sedangkan untuk pendidikan ACSC atau setingkat Sesko Angkatan, ADC berafiliasi dengan The Australian National University (ANU). Kemudian untuk pendidikan CTMP, pendidikan dilaksanakan di ADFA yang berafiliasi dengan University of New South Wales-Canberra.

Kegiatan di DITC

Di DITC-Laverton, para siswa internasional akan diberikan pengenalan dan pendalaman mengenai Bahasa Inggris agar nantinya tidak terjadi language gap antara siswa dengan penduduk Australia ataupun instruktur di pendidikan masing-masing. Selain itu, para siswa juga berkesempatan untuk mengenal kebudayaan dan kehidupan masyarakat Australia untuk menghindari cultural shock. Dengan demikian, para siswa menjadi lebih nyaman selama berada di Australia dan dapat lebih fokus pada proses pendidikannya.

Ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung kegiatan tersebut, antara lain field trip ke beberapa lokasi yang membawa ciri khas Australia, baik itu tempat bersejarah, tempat wisata, dan lain-lain. Sebut saja Shine of Remembrance, Royal Botanic Garden, Victoria Market, Flinders Street Station, Federation Square, Ballarat Wild Life Park, Sovereign Hill-Ballarat, Kokoda Memorial Track, dan beberapa tempat lainnya.

Bagi siswa internasional, termasuk siswa Indonesia, tantangan terbesar dalam menjalani kegiatan selama di Australia adalah kendala bahasa. Bagi kami yang bukan merupakan penutur asli Bahasa Inggris, menggunakan bahasa ini dalam keseharian tentu tidak semudah yang dibayangkan. Selain itu, perbedaan iklim dan waktu dengan Indonesia juga menjadi tantangan lainnya. Perubahan cuaca di Melbourne yang begitu drastis dan tak terduga bikin kami terkaget-kaget. Sebab, kadang-kadang suatu hari suhu bisa terasa menyengat mencapai di atas 30 derajat, tapi esok harinya mendadak menjadi di kisaran 10 derajat Celcius dengan angin kencang menderu-deru. Sudah begitu, tingkat paparan UV yang cukup tinggi membuat kami tak bisa bebas berjalan-jalan di siang hari tanpa sun protection.

Untuk menghadapi masalah cuaca ini, kami jadi punya kebiasaan baru setiap pagi. Sebelum beraktivitas, kami akan mengecek prakiraan cuaca hari ini, sehingga bisa memutuskan pakaian dan perlengkapan yang harus dipersiapkan untuk menjalani kegiatan pada hari itu.

Tantangan lain yang tentunya cukup berarti adalah permasalahan budaya, termasuk di antaranya makanan, gaya hidup, dan keperluan beribadah. Sebagai umat Muslim, menjadi minoritas di Australia berarti kami harus pintar-pintar mencari tempat makan yang menyediakan menu halal, mencari tempat ibadah untuk menjalankan shalat lima waktu, dan menghadapi perbedaan waktu beribadah antara Australia dan Indonesia.

Soal makanan, kami bersyukur karena restoran Indonesia cukup mudah ditemukan di Melbourne, sebut saja Nelayan, Ayam Penyet Ria, dan Warung Gudeg di Clayton (sekarang sudah tutup). Selain halal, restoran tersebut juga dapat membantu rasa kangen akan rasa masakan Nusantara. Ada pula restoran lainnya yang sudah memasang sertifikasi halal, seperti Ummah Thai di Werribee. Hal lain yang juga membuat kami bersyukur adalah jaringan silaturahmi sesama perantau Indonesia yang selalu membuka pintu-pintu rumah mereka dengan ramah pada saat kami datang berkunjung.

Seiring berjalan waktu dan pengalaman, kami akhirnya dapat menghadapi semua kendala dan tantangan tersebut, dan mulai dapat merasa nyaman tinggal di Australia. Kami mohon doa dan dukungan dari seluruh warga Indonesia di Victoria, semoga kami dapat melaksanakan tugas pendidikan di Australia dengan sebaik-baiknya.

Kontributor: Mayor Lek. Edith Nurhidayat Kurniawan Santosa