Kisah Pegiat Perfilman Indonesia di Melbourne

Industri perfilman di Indonesia terus berkembang. Semakin banyak film-film Indonesia yang mengambil latar luar negeri. Salah satu harapannya adalah agar bisa menarik pangsa pasar lebih luas. Inilah yang menginspirasi salah satu produser Indonesia, Resika Tikoalu, untuk membuat film Indonesia dengan latar belakang kota Melbourne, Australia.

Proses produksi film

Awal mula ia terjun memproduseri film adalah di tahun 2016. Film produksinya yang pertama adalah The Curse besutan sutradara Muhammad Yusuf. Saat itu, secara tak sengaja di salah satu exhibition Indonesia di Melbourne, ia bertemu dengan sang sutradara. Dari situ, obrolan berlanjut dan menghasilkan debut pertamanya sebagai seorang produser film.

Malang melintang di bidang event organising selama lebih dari 25 tahun tidak membuat jalannya sebagai produser mulus-mulus saja. Di awal proses produksi The Curse, Resika merasa kesulitan terutama karena ia tak punya pengalaman dan latar belakang bidang perfilman. Namun, segala tantangan terbayar ketika di proses screening, tanggapan dari masyarakat yang menyaksikan film bergenre horor itu cukup positif. Beberapa film lainnya yang juga sempat ia produseri adalah sebuah film dokumenter Jaranan karya sutradara Marcus Salvagno yang rilis setahun setelah The Curse. Selain itu, ia juga berada di balik layar untuk memproduseri film 7 Bidadari (2018) yang kembali dibesut Muhammad Yusuf.

Resika masih terbilang baru di industri film, namun selalu memperhatikan alur cerita dan konten yang menarik. Ia ingin mendorong pelaku dan penonton Indonesia untuk menjadi lebih kritis dan tidak sekadar mengikuti trend.

Tantangan promosi dan distribusi

Kepedulian terhadap dunia film Indonesia juga ditunjukkan oleh Vincent Prasetio, Project Manager Indonesian Film Festival (IFF) 2019. Vincent yang sudah terlibat dalam penyelenggaraan IFF 2017 ini merasa kegiatan film screening semacam IFF bisa menjadi salah satu promosi budaya Indonesia di ranah internasional. Sebab, meski pengunjung IFF meningkat dari tahun ke tahun, penonton yang datang masih mayoritas orang Indonesia. Karenanya, Vincent berharap agar IFF tahun ini dapat menarik lebih banyak pengunjung lokal.

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Vincent dan timnya dalam menggaet minat penonton Australia. Selain menyajikan film-film dengan genre bervariasi, pihak IFF dibantu tim edukasi ACMI juga mempromosikan IFF ke sekolah-sekolah di Victoria yang memiliki kurikulum studi Indonesia. Sekolah yang potensial akan digandeng menjadi partner kegiatan educational screening, sehingga siswa-siswa di sekolah tersebut dapat menjadikan film Indonesia sebagai media belajar budaya dan Bahasa Indonesia. Film yang dipilih untuk diperkenalkan pada kegiatan educational screening adalah Koki Cilik. Film ini mengandung nilai-nilai persahabatan dan tentang pentingnya menjadi diri sendiri dalam menjalani kehidupan.

IFF 2019 juga membuka kesempatan bagi para sineas yang ingin menuangkan ide mereka dalam bentuk kompetisi film pendek. Karya-karya tersebut akan dinilai oleh tim juri, kemudian film-film pendek terbaik akan diputar selama IFF. Penonton pun dapat berdiskusi dengan para pemenang serta para pakar di industri ini di kegiatan “Through the Lens” dengan membeli tiket di website iffaustralia.com.

Resika dan Vincent adalah dua dari pegiat industri film Indonesia di Australia. Jalan mereka tidak mudah. Resika misalnya, harus berhadapan dengan kendala kultur dan Bahasa ketika mengikutsertakan pemain film asal Australia. Sementara, Vincent berkutat dengan masih rendahnya pengunjung lokal yang menonton film Indonesia. Dengan tantangan yang ada, mereka berupaya untuk terus memajukan perfilman Indonesia ke luar negeri. Sebab, film-film Indonesia yang diputar di luar negeri bisa menjadi jendela untuk mengenal Indonesia lebih dekat.

Teks: Destari P Pertiwi

Foto: Devina Krismarina, Vincent P, Resika T