Khilafah: Kok Jadi Ramai?

 Belakangan ini ramai diperbincangkan soal “KHILAFAH” di Indonesia.

Antara lain sehubungan dengan dibubarkannya organisasi masyarakat (Muslim) Hisbut Thahrir Indonesia – HTI – yang dituding bercita-cita mendirikan hilafah di Indonesia yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. D I Austalia Hisbut Thahrir masih diberi kesempatan untuk terus hidup meski di sana sini masih suka menimbulkan sedikit kehebohan karena cara sementara anggota ormas itu menafsirkan ayat-ayat tertentu Al Qur’an.

Sebagaimana dilaporkan media, mengutip keterangan Menko Polhukam Wiranto: Pembubaran didasari oleh ideologi khilafah yang didakwahkan HTI, mengancam kedaulatan politik negara yang berbentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).”

Sebenarnya rakyat Indonesia sudah pernah hidup di bawah naungan “Demokrasi Terpimpin” yang diterapkan Orde Lama/Bung Karno; kemudian “Demokrasi Pancasila” yang dijalankan Orde Baru/Suharto selama 32 tahun, dan ternyata tetap “survive”, meski kemudian baik Orla mau pun Orba dicela habis-habisan, karena Orla kasih hati sama Komunis yang pernah menikam dari belakang melalui pemberontakan Madiun 1948 yang  akhirnya ditumpas oleh Pasukan Siliwangi pimpinan Jenderal Abdul Haris Nasution (periwira yang pada usia 28 tahun sudah menyandang pangkat Mayor-Jenderal). PKI kemudian bikin ulah lagi dalam tahun 1965, dan lagi-lagi ditumpas. Si Bung (Karno) mungkin lalai dalam memegang teguh pesannya yang kemudian diakronimkan menjadi Jas Merah (Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah).

Orba?

Dicela karena dituding  KKN – Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pada hal di zaman Orba begitu giat dan gigih diselenggarakan Penataran P-4  alias Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Banyak pegawai negeri yang akan dikirim ke luar negeri waktu itu, untuk latihan, misalnya, harus sudah memiliki sertifikat telah mengikuti P-4. Bahkan warganegara Indonesia di luar negeri, termasuk Australia, dianjurkan mengikuti penataran P-4 agar semua orang Indonesia Pancasilais. Tahu-tahu……..Orba yang menjadi penyelenggara P-4 dicap KKN!

Di zaman Orla yang paling ditakuti adalah tudingan “Nekolim” (Neo Kolonialisme / Imperialisme) sementara di zaman Orba yang menjadi momok adalah kalau sampai dibilang “PKI” (Partai Komunis Indonesia alias lingkungan yang tidak bersih). Dan sekarang tudingan menghayati “Khilafah” langsung disama-dan-sebangunkan dengan anti Pancasila. Meski pun menurut badan survei Amerika  Pew yang sangat disegani itu, 72% Muslim di Indonesia menyukai apabila Hukum Islam diberlakukan di Indonesia  (Pew Survey 2011-12). Sementara Douglas M. McLeod dalam “Support for the Caliphate and Radical Mobilization” mengatakan, “Salah satu dari segelintir survei mengenai sikap terhadap khilafah menyimpulkan bahwa rata-rata 65% responden di Mesir, Maroko, Pakistan dan Indonesia sepakat mengenai tujuan mempersatukan semua negara Islam menjadi sebuah Negara Islam alias khilafah”

Memang kedua survei yang disebutkan di atas dilakukan sebelum munculnya hiruk-pikuk mengenai khilafah di Indonesia.

Sebenarnya apa sih yang ditakutkan atau dibenci tentang khilafah ini?

Secara singkat dapat dijabarkan di sini bahwa baik perkataan khilafah (bentuk pemerintahan) maupun khalifah (penguasa) berasal dari akar kata “kh-l-f” – yang biasanya diartikan pengganti atau menggantikan.

Dalam bukunya “The Caliphate”, Profesor  jurusan kajian Arab pada Fakultas Bahasa-Bahasa dan Budaya-Budaya Universitas London, Hugh Kennedy, menjelaskan, antara lain, bahwa “pada dasarnya khilafah adalah gagasan tentang kepemimpinan untuk mengatur masyarakat secara adil sesuai suruhan Allah (swt).

Dalam Islam Allah (swt) menyebut hanya dua Rasul sebagai khalifah, Nabi Adam (as) dan Nabi Daud (as).

Menarik adalah ayat mengenai penetapan Nabi Adam sebagai khalifah:

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” (QS 2:30).

Ayat ini sangat menarik karena kental sekali nuansa “demokrasi”-nya.

Rupanya, ketika mendengar firman tadi, malaikat tidak setuju dan langsung menimpali dengan kata-kata tegas: “Mengapa Engkau (Ya Allah) hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah padanya, pada hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)

Meski “menggugat” putusan Allah (swt) namun para malaikat ternyata tidak dihukum, melainkan ditentramkan dengan kalimat pamungkas, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Dalam bagian lain Al-Qur’an,  Al A’raf (7:12-18) meski Iblis ingkar terhadap perintah Allah (swt) namun Iblis tidak lanngsung dihabisi, melainkan diberi waktu untuk berkiprah sampai “hari mereka (manusia) dibangkitkan”.

Dalam bagian lain Al-Qur’an, Allah (swt) menetapkan Nabi Daud (as) sebagai khalifah, dengan perintah agar “memberikan keputusan antara manusia dengan benar/adil dan jangan mengikuti hawa nafsu…” (QS 38:26).

Salah satu khilafah yang cukup membanggakan adalah Khilafah Cordoba (Khilafah Qurtuba -929-1021 CE).

Dalam bukunya “The Abacus and the Cross” (hal. 50) Nancy Marie Brown menulis: “Penting dicatat bahwa hanya sekitar 50% penduduk Cordoba yang beragama Islam. Al Qur’an mengajarkan bahwa mengingat Nabi Musa (as) dan Nabi ‘Isa (Yesus – as) juga diberi kitab oleh Tuhan, maka Umat Yahudi dan Umat Kristiani adalah “Ahlul Kitab”, karenanya wajib ditoleransi. Pada waktu itu Umat Katolik menyanyikan Misa dalam bahasa Arab.”

Dalam karya besarnya “Islam, Doktrin dan Peradaban” Dr. Nurcholish Madjid mengutip penulis buku  “Jews, God and History”, Max I. Dimont (seorang Yahudi), yang antara lain mengatakan: “Rentang Zaman Keemasan Yahudi dalam peradaban Islam bersesuaian dengan rentang hidup Emperium (Khilafah) Islam itu sendiri. Ketika Emperium itu runtuh, Zaman Keemasan Yahudi pun runtuh.”

Dalam bukunya itu Dr. Nurcholish Madjid mengutip banyak lagi pakar baik dari kalangan Yahudi (seperti Abraham S. Halkin) maupun Kristiani (seperti filosof Inggeris  Bertrand Russel – yang sebenarnya adalah seorang ateis) yang semuanya menandaskan bahwa toleransi merupakan salah satu sendi Khilafah Islami di masa Islam sedang jaya-jayanya

Tidak mengherankan kalau begitu kenapa ulama Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) sekembalinya dari kunjungan ke Eropah berani menandaskan atau menyimpulkan  bahwa “Di Barat aku melihat Islam di mana-mana tetapi tidak ada Muslim, sedangkan sekembalinya aku ke Timur (Mesir) aku melihat Muslim di mana-mana tetapi tidak Islam.”

Apa maksud Muhammad Abduh dengan ucapan atau sentilannya itu?

Barangkali yang dimaksudkannya adalah bahwa tata cara atau sistem pemerintahan, kelembagaan, sosial dan tatanan-tatanan lainnya yang diterapkan di Barat sesuai dengan ajaran Islam, sementara di Timur (Mesir) tatanan-tatanan yang berlaku tidak sesuai atau tidak menuruti ajaran Islam.

Mungkinkah bagi Muhammad Abduh tatanan-tatanan tersebut pada hakikatnya adalah “serupa tetapi tidak sama” dengan tatanan dalam sebuah khilafah? Wallahu a’lam.

 

Nuim Khaiyath