Indonesia-Australia: Love and Hate Relations

 Hubungan Indonesia dan Australia itu ibarat love and hate relations . Realitas itu bermuara pada perbedaan budaya dan catatan sejarah yang cukup panjang. Sekalipun demikian, lambat laun, warga pendatang Indonesia kian diakui keberadaannya di bumi Kangguru ini. Dalam setiap perhelatan budaya, hampir selalu tampil perwakilan Indonesia. Keragaman budaya Nusantara telah ikut memperkuat promosi budaya Indonesia. Pebisnis Indonesia juga mulai muncul dan menguat. Bagaimana proses adaptasi dan perkembangan warga Indonesia di Australia? Wartawan kawakan Hidayat Dajamihardja (73) berbagi pandangan menarik untuk Anda. Berikut petikannya.

1. Bagaimana Anda melihat proses adaptasi dan perkembangan pendatang Indonesia setelah berada di Australia? 

Prosesnya berjalan relatif normal walaupun lambat. Tergantung pada situasi dan kondisi setempat. Jika menengok sejarah dasawarsa 1960-an, gambarnya tidak begitu cantik. Bangsa Australia masih sangat Eropa-sentris. Mereka baru keluar dari sejumlah perang: Perang Dunia Kedua, Perang Korea, Konfrontasi Malaysia dimana tentara Australia berhadapan dengan “sukarelawan” Indonesia di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara. Sesudah itu Perang Vietnam, salah satu perang terlama dalam sejarah modern. Di Indonesia sendiri tahun 1965 merupakan tahun yang suram dan menelan banyak korban jiwa. Jadi tidak bisa disangkal kalau masyarakat Australia waktu itu ada yang merasa waswas tentang masuknya “pendatang” dari negara-negara Asia dalam jumlah besar.

Sekalipun demikian, proses adaptasi warga Indonesia yang masuk sedikit demi sedikit dan menetap itu mendapat sambutan penuh persahabatan dari warga Australia yang menjadi tetangga mereka. Organisasi persahabatan antara warga Indonesia dan Australia seperti Australia-Indonesia Association (AIA) dan Ikawiria (Ikatan Warga Indonesia di Australia) yang sudah lama terbentuk, banyak membantu dalam memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Australia. Tidak pernah tersiar laporan terjadinya insiden rasisme serius yang dialami anak-anak pendatang tersebut.

2. Bagaimana proses adaptasi mereka pada periode 1970-an?

 Dari sisi politik, tahun 1970-an adalah periode panas buat warga Indonesia di Australia. Namun dari sudut ekonomi, ini merupakan dekade subur, khususnya paruh pertama. Terpilihnya Gough Whitlam dari Partai Buruh sebagai Perdana Menteri baru menciptakan wajah baru bagi Australia di Asia, termasuk Indonesia. Kebijakan luar negerinya menyulap Australia menjadi negara yang terbuka lebar bagi hampir setiap orang dari mana pun mereka berasal. Jumlah pendatang gelap di Australia pun kian membengkak, termasuk yang berasal dari Indonesia. Istilah yang dipakai di kalangan warga Indonesia untuk melukiskan mereka saat itu adalah orang “underground”.

Warga Indonesia yang sudah lama menjadi penduduk, tetap mengenyam banyak keistimewaan baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Berkat kebijakan Whitlam membebaskan ongkos kuliah bagi semua mahasiswa, tidak sedikit warga Indonesia yang berhasil meraih gelar S-1 dan S-2. Pemeriksaan kesehatan pun bebas beaya. Kenaikan upah dan pelonggaran pinjaman kredit dari bank membuat pembelian rumah menjadi hal yang biasa. Banyak warga Indonesia yang bisa memiliki rumah sendiri. Keluarga dengan dua mobil sudah menjadi hal lumrah. Ringkasnya, Australia kelihatan seperti menyulap diri menjadi sebuah negara yang kaya-raya — walaupun dampak-akhirnya membuat negara tercekik oleh inflasi yang hebat. Withlam pun dipecat oleh Gubernur Jenderal.

Di bidang politik, dekade 70-an merupakan dekade panas bagi warga Indonesia di Australia. Mereka harus memikul dampak sosial-politik atas gempuran berita di media cetak dan elektronik  Australia yang setiap hari melaporkan tentang operasi dan “invasi” militer Indonesia di Timor Timur dan tewasnya lima orang wartawan televisi dari Australia di sana. Demo protes banyak digelar oleh serikat buruh dan organsasi mahasiswa. Yang menjadi korban langsung adalah menurunnya secara dramatis pengajaran bahasa Indonesia di universitas-universitas di Australia. Di Universitas Melbourne misalnya, minat mahasiswa Australia untuk belajar bahasa Indonesia sempat merosot sampai 60 persen. Begitu pula di universitas lainnya.

3. Apa perbedaannya dengan generasi yang datang pada 1990-an?

 Pendatang periode 1990-an tidak dihadapkan pada rangkaian perkembangan seperti zaman 70-an. Mereka berhadapan dengan generasi muda Australia yang sudah merasa dirinya sebagai bagian dari Asia, yang sudah sering berlibur di Bali dan berbagai bagian Indonesia lainnya. Tidak ada lagi kebijakan Australia Putih.

Mereka tiba sesudah sebagian besar kendala utama untuk masuk ke negara ini dihapuskan. Persaingan antara kubu konservatif pimpinan Malcolm Fraser dan kubu Partai Buruh pimpinan Whitlam di tahun 70-an, melahirkan kebijakan baru untuk menawarkan amnesti kepada semua orang “underground”. Kebanyakan dari mereka menerima tawaran itu, termasuk yang berasal dari Indonesia. Dengan kebijakan baru yang hanya dua kali ditawarkan itu, populasi warga Indonesia jadi membengkak di Australia. Banyak dari warga yang baru mendapat status baru itu kemudian mendatangkan sanak keluarga mereka dari Indonesia. Hal ini membuat pengembangan budaya Indonesia semakin meluas. Begitu pula pengembangan pendidikan agama untuk anak-anak keluarga Indonesia ikut berkembang.

4. Apakah keberadaan warga asal Indonesia itu sudah diperhitungkan oleh pemerintah Australia?

 Bagi Australia, setiap pendatang yang tiba merupakan potensi tenaga buruh yang akan diperlukan di kemudian hari. Namun, pada waktu yang sama, kehadiran mereka itu juga menjadi beban tambahan bagi pemerintah, khususnya di bidang kesehatan, pendidikan dan tunjangan sosial. Sebagai negara yang hidup berkat kehadiran imigran, seperti halnya Amerika Serikat, Kanada dan Selandia Baru, Australia pasti sudah memperhitungkan semua dampak positif dan negatifnya.

Dampak sosial dari kehadiran warga Indonesia di Australia cukup signifikan. Hal ini bisa dibuktikan lewat partisipasi warga Indonesia yang sangat aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya. Warga Australia yang ingin belajar tari Bali atau Jawa, angklung atau gamelan, tidak perlu pergi ke Indonesia. Semua bisa ditampung di Melbourne. Masyarakat asal Indonesia juga ikut memperkaya julukan Melbourne sebagai Kota Pusat Industri Kuliner nomer satu di dunia. Di ini bisa ditemui makanan yang berasal dari lebih 150 negara.

5. Apa sebab warga Indonesia cenderung sulit membaur dengan warga lokal?

Biasanya faktor bahasa yang sering menjadi penyebab utama. Soal pede atau percaya diri juga ikut memegang peranan. Latar belakang agama yang kuat juga bisa ikut berpengaruh. Kalau warga pendatang itu berasal dari kawasan yang kuat dasar agama Islamnya, bisa saja merasa kikuk hidup membaur dengan tetangga orang Australia yang adat kebiasaannya sangat berbeda.

Kecenderungan sulit membaur ini juga terlihat di kalangan sementara mahasiswa asal Indonesia. Mereka memang bergaul dengan sesama mahasiswa Australia pada jam-jam kuliah, tetapi begitu selesai, banyak dari mereka yang bergerombol lagi dengan sesama mahasiswa Indonesia. Kebiasaan itu merugikan peluang untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mereka. Tidak mengherankan kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa kefasihan berbahasa Inggris pelajar Indonesia yang alumni Amerika lebih baik daripada sejawatnya dari Australia.

6. Apakah pendatang asal Indonesia mampu bersaing dengan pendatang lain, dan bahkan dengan warga lokal?

Kalau melihat pada pengalaman pada awal 70-an, kehadiran pendatang Indonesia yang bergerak dalam bidang bisnis belum menonjol. Sedangkan yang sudah ada, kebanyakan terbatas pada usaha kecil seperti rumah makan dan pesanan makanan (catering) khas Indonesia. Bisnis seperti itu juga meluas di kalangan pendatang dari negara-negara Asia lainnya sekalipun tidak bertahan lama. Keuletan dan kesediaan untuk bekerja keras, masih belum meluas di kalangan warga asal Indonesia. Bisnis besar baru masuk sekitar akhir 70-an dan sesudah deregulasi bank di Australia pada 1980-an. Setelah itu banyak pendatang asal Indonesia yang terjun ke dalam dunia bisnis di Australia. Bersamaan waktu dengan banyaknya alumni yang menetap di Australia, kegiatan bisnisnya pun makin beragam hingga memasuki bidang konsultasi hukum, real estate, dan perhotelan.

7. Melihat sejarah kedua bangsa, mengapa hubungan  Indonesia-Australia selalu naik-turun?

Kalau meneropongnya dari segi budaya, jelas kedua bangsa sangat berbeda. Barat dan Timur tidak mungkin bisa bersatu. Tapi kalau dilihat

Hidayat Djajamihardja
Hidayat Djajamihardja

secara lebih mendalam antara kedua bangsa, ada semacam perasaan “lebih superior” atas yang lainnya. Sebagai orang Timur, bangsa Indonesia jelas sensitif. Sebaliknya, sebagai orang Barat, bangsa Australia senang bicara blak-blakan dan seadanya.

Di zaman Orde Baru, Australia sering menyentil Indonesia dalam segi HAM. Indonesia jelas tidak senang karena merasa dikuliahi oleh bangsa yang nenek moyangnya hanyalah ribuan narapidana dari Inggris. Sementara Indonesia adalah bangsa besar dan punya sejarah yang megah sejak ratusan tahun yang lalu. Sejarah mempertemukan keduanya. Bangsa turunan narapidana itu punya andil besar dalam menyeret kolonial Belanda ke meja perundingan damai dengan Indonesia. Australialah yang membawa isu Indonesia ke Majelis Umum PBB.

 Kalau meminjam Istilah remaja, hubungan Australia-Indonesia itu seperti pasangan yang selalu dirundung “love and hate relations”. Sehari hangat, lain kali dingin.

Kalau membuka album lama masing-masing, antara kedua negara memang ada isu-isu yang akan selalu menjadi duri.

 

Foto: koleksi pribadi & dok. Tim Bowden.

Caption: Sebagai reporter radio ABC, pada 1966 Hidayat mendampingi rekannya wartawan ABC Tim Bowden menjumpai Bung Karno.