Imigrasi, Populasi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Migration to Australia-OZIP
Migration to Australia. dok. immi.gov.au

Hendrarto Darudoyo

Peneliti dan Penulis

Tahukah anda, tahun 2030-an diproyeksikan bahwa kemungkinan bakal lebih banyak warga Australia yang wafat ketimbang mereka yang lahir? Australia termasuk negara-negara dengan populasi yang menua, dimana jumlah warga berusia 65 tahun keatas semakin meningkat. Sementara, sebagai bangsa yang bukan penganut prinsip “banyak anak, banyak rejeki”, tingkat kelahiran di negeri ini terbilang masih rendah. Kurang penduduk juga berarti kurangnya mereka dari usia kerja. Kecenderungan demikian dapat menjurus kepada kelangkaan tenaga kerja, naiknya biaya-biaya kesehatan dan kesejahteraan, berkurangnya pertumbuhan ekonomi, serta turunnya standar hidup warga Australia.

Kata Steve Bracks, Premier Victoria (1999-2007), sebagaimana termuat dalam salah satu media nasional, dari semula enam orang usia kerja per manula pada awal 2000-an bisa jadi tinggal separonya tahun 2031. Jika kekurangan populasi ini tidak segera diatasi, Australia menghadapi persoalan menciutnya angkatan kerja, yang selanjutnya menyulitkan negeri ini untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan produktifitas tinggi yang dibutuhkan bagi kesinambungan perekonomian yang modern lagi kompetitif. Singkat cerita, menurut Bracks, banyak yang dapat diperoleh Australia dari jumlah warga yang lebih banyak.

Pertumbuhan populasi melalui imigrasi senantiasa menjadi satu dari sejumlah bahan perdebatan hangat di Australia. Kelompok yang setuju berpendapat bahwa meningkatnya jumlah migran akan merangsang perekonomian. Sebaliknya, mereka yang anti punya pandangan bahwa dengan kian bertambah banyaknya pendatang berarti berkurangnya sumber daya alam Australia. Belum lagi, mereka beralasan pula, para migran yang berusia lebih tua, kurang trampil dan tidak berbahasa Inggris bakal menambah jajaran pekerja berketrampilan rendah yang menganggur.

Kalangan bisnis Australia sendiri berkeyakinan, Australia justru menjadi lebih kuat dan lebih kaya dikarenakan negeri ini terbuka bagi kaum migran. Berdasarkan beberapa studi di Australia dan mancanegara, sebagaimana termuat dalam salah satu sambutan dari bos Dewan Bisnis Australia beberapa waktu lalu, keberagaman etnis, budaya dan sosial sebagai akibat imigrasi dan pertumbuhan populasi merupakan sejumlah faktor utama yang memberi kontribusi terhadap produktifitas yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi.

Di antara ketiga kategori utama dalam program imigrasi (keluarga, ekonomi, dan pengungsi atau kemanusiaan) negara-negara tujuan migrasi tradisional (seperti misalnya, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia), menurut salah seorang penulis dalam buku mengenai kebijakan migrasi dan pengungsi, para pembuat kebijakan jauh lebih tertarik dengan skema migrasi bisnis. Di Australia dan Kanada, skema ini ternyata malah mengundang banyak kritikan dari masing-masing kalangan media setempat. Baru-baru ini pers Australia menyoroti kebijakan imigrasi yang memungkinkan orang-orang berkebangsaan tertentu dari golongan kaya saja untuk “membeli” jalan masuk mereka ke negeri ini.

Berbagai program migrasi bisnis bertujuan untuk menarik modal dan investor. Hanya saja, sebagaimana diutarakan dalam buku tadi, kebanyakan investasi lari ke real estate ketimbang menciptakan lapangan kerja. Australia memang memberikan preferensi kepada kalangan individual dengan pengalaman bisnis yang betul-betul sukses dan bermodal banyak untuk ditanamkan. Namun, mereka yang memiliki “modal budaya’ yang sifatnya tidak kentara pun, seperti contohnya bakat kewirausahaan dan kreatifitas, tentunya turut dipertimbangkan. Dengan demikian, mereka ini dapat menempuh jalur-jalur lain untuk menjadi migran ekonomi tanpa melalui skema bisnis.

Hendrarto Darudoyo-OZIP
Hendrarto Darudoyo.

Terlepas dari kebijakan imigrasi yang lebih mementingkan masuknya pebisnis sukses, investor besar, dan modal kakap, kalangan ekonom berkeyakinan bahwa bagaimanapun peningkatan “human capital” akan menjadikan penngkatan produktifitas, yang kemudian menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Masalahnya, Australia dikenal sebagai negara tujuan migrasi yang sulit dan mahal untuk dimasuki. Pemerintah Australia gigih berupaya menyaring masuknya migran ekonomi yang tepat untuk dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian. Bukan cuma calon migran tetapi para agen migrasi mesti pula terus mengikuti perkembangan terbaru, menilik revisi yang kerap dilakukan dan kian rumitnya persyaratan untuk migrasi yang ditetapkan oleh pihak birokrat.