Idul Fitri Kembali ke Akar Kesucian Manusia

Umat Islam di seluruh penjuru dunia baru saja merayakan Idul Fitri.

Dan dalam kesempatan ini, khusus dalam budaya kita – budaya Indonesia – kita saling bermaafan – dikenal dengan ucapan “Maaf Lahir Bathin”.

Makna dari Idul Fitri itu sendiri adalah “kembali ke kesucian” – dari akar kata fatrah. 

Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits – ucapan Nabi Muhammad (SAW) –  yang kemudian dicatat dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya:

“Seseorang yang telah berpuasa dengan baik selama bulan Ramadhan, maka pada akhirnya ia laksana bayi yang baru dilahirkan ibunya.” 

Jadi berpuasa itu juga merupakan pembersihan jiwa-raga, menjadikan yang melaksanakannya “born again Muslim”.

Dalam ajaran Islam, seorang manusia yang belum mencapai usia akil baligh (age of discretion) dianggap belum mampu berbuat dosa secara sadar.

Islam sangat mengusung dan menjunjung tinggi sikap dan sifat memaafkan.

Dalam Kitab Suci Umat Islam–Al Qur’an–banyak ayat yang merujuk pada kelebihan atau keistimewaan maaf.

Misal saja dalam ayat ke-40 Surah atau Bab Asy-Syuuraa–atau Bab ke-42 yang berarti Musyawarah–Allah (SWT) berfirman:

“Wa jazaa-u sayyi-atin sayyi-atum mitsluhaa

Fa man ‘afaa wa ashlaha

Fa ajruu ‘alallaahi 

Innahu laa yuhibbuzh zhaalimiin.”

Ayat ini, dan ayat-ayat sejenisnya dalam Al Qur’an, pada awalnya mengakui Hak Asasi seorang manusia – HAM.

Pada awalnya Allah mengatakan:

“Balasan kejahatan itu adalah kejahatan yang setimpal,” – ini hak asasi, balasan yang sesuai dengan kejahatannya sebagai hak manusia.

Lalu:

“maka barang siapa yang memaafkan dan mengadakan perdamaian maka pahalanya atas Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang zhalim.”

Jadi Islam itu pada hakikatnya mengutamakan pemaafan/perdamaian, bukan balas dendam dan sejenisnya.

Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Qur’an yang mengusung kerukunan, perdamaian, dan pemaafan.

Dan di antara ke-99 nama Allah atau Asmaul Husna – banyak yang berarti ‘suka memaafkan/mengampuni’ asalkan bukan dosa syirik alias menduakan Tuhan.

Islam adalah satu-satunya agama yang diakui oleh berbagai komentator non-Muslim tentang Islam, yang namanya diberikan oleh Tuhan-nya – Allah.

Dalam Al Qur’an Surah atau Bab ke-5 (Al Maa-idah) ayat ke-3 Allah (SWT) berfirman:

“Al Yauma akmaltu lakum diinnakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati

Wa radhiitu lakumul Islaam diinan.”

Artinya:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.”

Islam berasal dari kata SALAM yang berarti “penyerahan diri kepada Allah dan perdamaian”. Jadi sentralitas agama Islam itu memang antara lain perdamaian.

Seperti firman Allah (SWT) dalam ayat ke-8 Surah ke-60, yang artinya:

“Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu pada agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu, bahwa kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Suruhan agar berlaku adil, berbuat baik dan bersopan santun sungguh banyak terdapat dalam Al Qur’an.

Bahkan ketika seorang Muslim terlibat dalam perbantahan dengan seorang non-Muslim, misalnya, maka dia, orang Muslim tadi, dianjurkan agar:

 “Wa jaadilhum billati hiya ahsan.” (16:125).

‘Dan bantahlah mereka dengan cara sebaik-baiknya.”

Dan Umat Islam dilarang keras mengata-katai sesembahan orang lain; alias mencaci maki atau memperolok-olok agama orang lain, dan Ini ditegaskan dalam ayat ke-108 Surah Al-An’am (6):

“Wa laa tasubbulladziina yad’uuna min duunillahi.”

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah.”

Jangankan menghina sesembahan orang lain, bahkan mengumpat manusia lain saja oleh Al Qur’an dilarang.

Surah ke-104 dalam Al Qur’an berjudul “Al Humazah” yang artinya “Pengumpat”, dan diawali dengan ayat:

“Wailul li kulli humazatil lumazah.”

Artinya:

“Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela.”

Sering non-Muslim bertanya:

Kenapa harus puasa?

Sebenarnya ibadah puasa sudah dikenal jauh hari sebelum datangnya Islam.

Misal saja Lent dalam ajaran Kristiani.

Bedanya, puasa dalam Islam adalah menahan diri secara tuntas sejak menjelang matahari terbit hingga surya terbenam; dari makanan, minuman dan hubungan badan dengan isteri/suami, di siang hari.

Puasa selalu disebut sebagai suatu bentuk pembersihan lahir bathin – tidak makan dan minum, utamanya di siang hari. Menahan diri dari angkara murka dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang juga dipantangkan setiap saat.

Berpuasa adalah latihan mengekang nafsu; melatih diri agar lebih bersabar; jujur bukan karena takut dipergoki, melainkan jujur karena malu kepada Allah kalau melakukan dosa.

Misal saja ketika berpuasa, bisa saja seorang Muslim diam-diam, sembunyi-sembunyi makan dan minum di siang hari dan masih mengaku berpuasa kalau sekiranya ada yang bertanya. Namun itu tidak dilakukan. Alasannya “malu kepada Allah”. Banyak di antara kita yang tidak menjadi pelaku  kejahatan, seperti korupsi,  karena takut akan kedapatan atau terbongkar. Misalnya ada jaminan bahwa kejahatan itu sama sekali tidak bakalan tercium atau terbongkar oleh alat negara, tergodakah kita untuk melakukannya kalau ada jaminan bakalan bebas sampai akhir hayat?

Puasa melatih kita untuk jujur pada diri sendiri dan mengakui bahwa Tuhan tidak tidur dan melihat serta mengetahui segala yang kita lakukan. Kata seorang cendikiawan Islam Imam Al Ghazali, bahkan ketika kita mengedipkan mata, itu juga karena izin Allah. Karenanya kalau kita tetap puasa biar betapa pun panasnya hari, dahsyatnya dahaga dan perut yang keroncongan, karena kita malu pada Allah kalau curi-curi makan dan minum, kenapa sifat ini tidak diteruskan dalam bulan-bulan lain dan sepanjang hayat dikandung badan?

Sebagaimana diketahui kini di Barat juga dikenal apa yang disebut 5:2 – makan minum seperti biasa selama 5 hari dan puasa selama 2 hari dalam seminggu.

Eksperimen ini dilakukan Dr. Michael Mosley dari Inggris sperti yang pernah ditayangkan saluran televisi SBS – Trust Me I am a Doctor. Dr. Mosley sendiri waktu itu menderita tekanan darah yang cukup tinggi, kadar gula lumayan tinggi dan kolesterol yang tidak kalah tingginya.

Namun setelah melaksanakan kiat 5:2 – makan dan minum seperti biasa 5 hari dalam seminggu dan puasa selama 2 hari, hipertensinya turun, kadar gulanya berkurang dan kolesterolnya mulai positif.

Ketika itu saya teringat akan ayat dalam Al Qur’an – Al Baqarah Surah Kedua, ayat ke 184:

“Wa antashuumu khairul lakum in kuntum ta’lamuun.”

Artinya:

“Dan puasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (khasiatnya”).

Sudah sejak lebih dari 14 abad yang lalu banyak umat Islam yang rajin melaksanakan apa yang dikenal sebagai puasa Senin/Kamis – 5:2.

Semoga.