Hari Anak Nasional di Mata Para Diaspora

Peringatan Hari Anak Nasional Indonesia yang jatuh tanggal 23 Juli tentu kembali mengalami penyesuaian dengan merebaknya pandemi COVID-19. Minimnya ruang untuk berkegiatan di luar rumah tentunya menjadi sebuah polemik tersendiri pada tumbuh kembang anak serta bagaimana mereka bisa berinteraksi satu sama lain. Tetapi bagaimana dengan anak–anak yang kemudian mendapat kesempatan untuk menjelajahi bagian dunia lain karena ikut orang tuanya yang melanjutkan pendidikan di negara lain?

Menariknya, anak–anak memiliki daya tahan masing–masing dalam menerima perbedaan. Dalam peringatan Hari Anak Nasional kali ini, penulis berbincang dengan para orang tua terhadap tumbuh kembang anak mereka selama tinggal beribu–ribu kilometer jauhnya dari Indonesia.

Yang pertama adalah Nadia Hanum yang merupakan  seorang ibu muda yang sedang menempuh studi doktoral di University College London (UCL) Inggris. Ibu satu putra ini menceritakan bahwa untuk meminimalisir efek culture shock, sebelum keberangkatan ke luar negeri harus menjelaskan anak-anak tentang kepindahan atau perjalanan yang akan dilalui. Beri tahu anak-anak bahwa segala sesuatu nya akan berbeda di negara yang baru, jadi anak-anak lebih ready.  

Tetapi hal lain yang juga penting adalah menyampaikan hal-hal yang positif yang akan dialami. Sehingga anak akan merasa lebih familiar bahkan sebelum keberangkatan ke luar negeri. Selanjutnya, setelah kepindahan ke luar negeri harus segera move forward. Ia berpesan untuk jangan berlama-lama bersedih dengan perpisahan dari ‘zona nyaman’ di Indonesia, tetapi coba menjelajah hal-hal baru.

Penting juga untuk selalu bertanya hal-hal yang membuat anak nyaman seperti apakah anak merasa senang dengan kepindahan mereka dan hal–hal apa yang bisa membuat mereka lebih tenang. Beri tahu kepada anak bahwa tidak apa-apa kalau merasa sedih, dan bahwa kita juga merasakan hal yang sama, supaya anak tidak merasa sendirian. Jangan lupa untuk mendampingi mereka sepenuhnya dalam masa penyesuaian tersebut, dan jangan menuntut banyak dari mereka. “During this unsettling time, kids will need the parents to be their rocks!” tukas Nadia.

Secara umum Nadia juga mengamati beberapa perbedaan di Indonesia yang lebih banyak menekankan porsi belajar formal, di mana di Inggris pendidikan anak usia dini lebih fokus kepada bermain dan belajar, interaksi dengan lingkungan, dan perkembangan motorik anak. Waktu sekolah lebih lama dibandingkan di Indonesia (misalnya, anak TK di UK sekolah dari jam 9 sampai jam 3), tapi porsi belajar formalnya hanya 40%-60%, sisanya untuk anak berinteraksi dengan teman dan bermain. Sistem pendidikan juga lebih merata karena education is free for everyone, dan hasil akhir anak sekolah tidak selalu diukur dengan ujian (tertulis atau oral) sebab proses itu sangat penting.

Anak–anak yang tumbuh di lingkungan internasional dengan latar belakang orang tua yang bersekolah atau tengah bekerja juga memiliki resiliensi yang lebih baik, lebih mandiri dari anak–anak seusianya dan berpotensi menjadi anak yang berprestasi di masa dewasanya. Hal ini juga tidak luput dalam mempersiapkan diri menghadapi wabah COVID-19 saat jauh dari tanah kelahiran. Untuk kegiatan anak di masa pandemik, penulis mengobservasi perbedaan yang mencolok, dimana mental health issue anak seakan ‘diabaikan’ di Indonesia jika dibandingkan dengan Inggris.  Anak-anak adalah salah satu yang paling terkena dampak pandemi di Indonesia dalam segala bidang, salah satunya pendidikan.

Nadia memiliki tips untuk selalu menjaga alur komunikasi dengan anak. Penting bagi orang tua untuk meluangkan waktu positif bersama anak. Orang tua juga harus dapat mengenali gejala atau kecenderungan anak dalam merespon situasi pandemi. Karena psikologis anak saat menghadapi stressful situations itu unik dan bisa berbeda-beda. Ia pun juga berharap semoga anak-anak Indonesia bisa pulih secepatnya dari efek pandemi ini. Hal ini mengingat menantangnya hal-hal yang dihadapi anak-anak Indonesia selama pandemik, apalagi sekolah di rumah selama lebih dari setahun itu luar biasa.

Gebi Ilmi Nurhayati dan keluarga

Hal yang sama juga dirasakan oleh Gebi Elmi Nurhayati, yang merupakan seorang ibu dari dua orang anak yang saat ini tengah bermukim di Melbourne, Australia. Ia ikut bersama suaminya yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Monash University, dimana Gebi juga sambil bekerja selama menjadi diaspora.

Selama berada di Australia, Gebi melihat perbedaan durasi dalam jam pelajaran masuk sekolah yang dimulai jam 9 pagi sehingga bisa memiliki waktu yang cukup untuk sarapan dan bersiap–siap. Selain itu, sang anak pertama yang berusia 11 tahun juga mendapatkan buddy di sekolahnya untuk bisa meminimalisir culture shock, sedangkan anak kedua yang usia TK bisa lebih cepat beradaptasi dari segi bahasa. Peran orang tua juga penting untuk menyesuaikan penggunaan bahasa asing ketika tinggal di luar negeri.

Waktu–waktu yang ada selama di Melbourne pun dimanfaatkan oleh Gebi dan keluarga untuk menjelajah tempat wisata, taman atau art gallery yang tidak ada di Indonesia. Untuk mengatasi culture shock, semua individu dalam keluarga harus saling menguatkan agar selalu kompak karena jauh dari sanak saudara.

“Saya pun melihat perubahan positif dari anak- anak yang juga tumbuh mandiri dan ikut membantu orang tuanya dalam hal rumah tangga sesuai dengan kapasitas anak dan diarahkan,” ujar Gebi. Anak juga bisa menumbuhkan rasa toleransi karena berdampingan dengan masyarakat yang lebih multikultur.

Di samping itu, Gebi dan keluarga juga menyempatkan untuk mengikuti kegiatan pengajian yang ada di Melbourne untuk mengenalkan agama yang dianutnya kepada anak-anaknya. Dalam mengahadapi pandemi pun, orang tua selain menguatkan dari sisi spiritual juga harus memberi pendampingan psikologis sambil memberi ruang yang aman dan nyaman bagi anak dalam belajar serta bermain. Harapannya bagi peringatan Hari Anak Nasional ini adalah agar anak–anak tetap kuat dan semangat.

Teks                        : Destari Puspa Pertiwi

Foto                         : Narasumber