FUJIWA NIPPON ICHINO YAMA KE JEPANG TAK LENGKAP TANPA MENENGOK GUNUNG FUJI

Kalau kita ke Tokio, atau bahkan ke Jepang secara umum, namun tidak menyempatkan diri, atau memang tidak sempat, menjenguk Gunung Fuji dan kota pelabuhan Yokohama, maka ibarat makan dengan gulai yang kurang garam.

Bagi bangsa Jepang Gunung Fuji (Fujiyama) memang sesuatu yang bukan saja membanggakan melainkan juga punya nilai-nilai sakralitas.

Memang menjenguk Gunung Fuji (orang Jepang bahkan suka menyebutnya sebagai Fuji san untuk mencerminkan keakraban) adalah sesuatu yang menyenangkan dan mengasyikkan. Bukan saja setelah kita tiba di kaki gunung tersebut, melainkan sekadar perjalanan menuju gunung mashur tersebut sudah cukup menenangkan kalbu. Bagaimana tidak, sejak kita meninggalkan batas kota Tokio, pemandangan alam yang menghibur mata di kiri-kanan jalan yang mulus sangat permai. Dedaunan berbagai pohon memancarkan kesemarakan warna-warni yang begitu indahnya. Mungkin karena ketika kami melakukan tamasya tersebut kitaran musim di Jepang sudah menjelang akhir musim gugur menjelang musim dingin.

Bukan saja pepohonan dengan dedaunan yang begitu meriah menyedapkan pemandangan, melainkan juga perumahan khas Jepang yang mungil tetapi molek yang menghiasi kawasan berbukit itu lebih mengesankan wisma-wisma boneka ketimbang hunian manusia yang hakiki.

Itulah perbedaan menyolok antara negeri dengan empat musim dari negeri dengan dua musim (musim kering dan musim hujan, seperti Tanah Air kita), di mana kehijauan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan berjaya sepanjang masa).

Bangsa Jepang memang inovatif.

Menjelang Gunung Fuji, di jalan bebas hambatan (freeway) Subaru ada ruas atau jalur yang sangat khas dibangun laksana piringan hitam zaman lalu. Rentang jalan tersebut dibuat dengan alur-alur yang biasanya terdapat dalam piringan hitam yang menyimpan bunyi , hingga ketika roda-roda kendaraan yang kita tumpangi melaluinya, maka akan terdengarlah alunan musik. (Seorang sahabat dari Medan ketika mendengar cerita ini langsung mengatakan bahwa di ibukota Propinsi Sumatera Utara itu juga ada jalan yang ketika dilalui kendaraan bermotor akan mengumandangkan bunyi gerudak-geruduk, akibat banyaknya lubang yang belum ditambal he he.)

Ketika akhirnya kita sampai pada tujuan, maka terpuaskanlah segala keingintahuan kita mengenai gunung yang sangat dibanggakan bangsa Jepang ini.

Kita sering melihat foto Gunung Fuji dengan puncaknya yang sangat khas itu yang seakan diambil dari jarak jauh. Dan ketika kita kemudian melakukan kunjungan ke bagian-bagian lain di sekitar gunung tersebut maka akan terkesan bahwa Fuji san seolah terus mengikuti kita, meski pun kita telah berada puluhan kilometre dari bagian bumi Jepang yang menjulang hampir setinggi empat ribu meter itu, yang menurut statistik pemerintah Jepang didaki oleh sekitar 300-ribu orang setiap tahun.

Bagi bangsa Jepang Gunung Fuji meski terbentuk oleh keganasan pancaran api sekian waktu yang lalu (dan diperkirakan tidak mustahil juga akan hancur oleh api akhirnya), namun keindahannya suka diibaratkan seperti sekuntum bunga yang rentan. (Danau Toba juga terbentuk berkat atau akibat letusan dahsyat gunung merapi sekitar 70-ribu tahun silam).

Menyaksikan Gunung Fuji yang seakan tidak berbeda biar dipandang dan disorot dari arah mana pun, dan dari jarak yang jauh, membuat kita curiga jangan-jangan ini merupakan salah satu kepiawaian Jepang dalam melakukan rekayasa.

Gunung Fuji memang merupakan sumber ilham bagi banyak seniman Jepang.

Kelenting Shinto di kaki Gunung Fuji dibangun sekitar 2000 tahun lalu.

Pujangga Jepang Matsuo Basho (1644-94) pernah menuangkan kekagumannya pada gunung tersebut dalam kata-kata:

“Di tengah rintisan hujan dan kabut musim dingin,

Bahkan pada hari seperti itu pun

Terpancar kesukacitaan.”

Sementara penulis Amerika Lafcadio Hearn (1850-1904) yang begitu terpukau oleh Jepang hingga ia menjadi warganegara negeri mata hari terbit itu, menyebut Gunung Fuji sebagai “pemandangan yang paling permai di Jepang.”

Juga kalau sempat jangan lewatkan bandar Yokohama, yang kini dihuni oleh banyak hartawan Jepang. Khusus di malam hari kota pelabuhan ini memang sangat memikat. Aliran listrik yang dibangkitkan oleh tenaga nuklir membuat Yokohama begitu terang benderang.

Kota kedua terbesar di Jepang ini pernah diluluh-lantakkan oleh gempa dahsyat dalam tahun 1923. Waktu itu banyak warga Jepang yang mencurigai bahwa gempa tersebut adalah ulah ilmu hitam masyarakat Korea yang sempat jadi bulan-bulanan. Dalam Perang Dunia Kedua (Perang Pasifik) Yokohama lagi-lagi porak poranda oleh hantaman sekutu/Amerika, namun kini berdiri kembali dengan megahnya.

Sungguh Jepang memang jago, lihai, piawai, tekun, cerdas, sopan, santun, tertib, disiplin en sopor en sopor.

Tapi kenapa bisa terjerumus ke dalam kesalahan fatal  menyerang Teluk Mutiara (Pearl Harbour) Hawai, pada tanggal 7 Desember 1941? Hingga memancing Amerika untuk ikut terjun ke kancah Perang Pasifik? Tanpa Amerika sebagai lawan mungkin Jepang mampu menguasai Asia Timur Raya, termasuk Pasifik, hingga kini kita lebih fasih dengan huruf kanji ketimbang cas-cis-cus dalam bahasa Inggeris.

Namun Jepang tidak sendirian dalam kesilapan manusiawi ini. Napoleon pun kiranya dapat menguasai Eropah kalau saja dia tidak mencoba menaklukkan Rusia; begitu pula dengan Adolf Hitler yang tergiur dan terpancing menyerbu Rusia, namun akhirnya babak belur.

Pepatah Jepang mengatakan: “Monyet pun dapat jatuh dari pohon” (Sepandai-pandainya tupai melompat  sesekali gawal juga..) Wallahu a’lam. (Habis).