Diaspora Musing : Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung

Merantau di negeri orang pasti berbeda dengan merantau di negeri sendiri. Kali pertama saya merantau adalah selepas SMP. Dari kota kecil di Jawa Timur, menuju ke Yogyakarta dan disambung dengan periode kerja di Jakarta. Dua lokasi itu, walau kota besar, toh masih satu pulau Jawa dengan kota lahir saya. Jadi ya 11-12 lah.

Kata leluhur (entah yang mana), dengan menjajal hidup di tempat asing, pengalaman seseorang makin kaya dan sikapnya makin terbuka. Makanya, walau hati gundah dan serba tak pasti, saya sangat menantikan saat-saat tiba di negeri jiran dua tahun lalu.

Jiran bawah peta ya, alias Australia.

Walau negara tetangga, tapi setahu saya benua sekaligus kumpulan negara bagian itu lebih mirip Eropa ketimbang Asia. Ya wajar sih ya, dulunya tanah itu kan memang tanah pengasingan bagi tahanan dari Britania Raya. Maka saya pun menyiapkan diri dengan berbagai informasi agar bisa menyesuaikan diri.

Contohnya, saya belajar untuk memahami logat atau penggunaan istilah dalam percakapan harian di Straya supaya saya enggak cengok-cengok amat saat diminta datang ke ‘barbie’ sekitar ‘arvo’ hari Selasa. Tapi semua itu tiada guna, saudara. Saya tetap cengok saat diajak bicara sama Aussies (dan Kiwis) selama tiga bulan pertama.

Selain itu, saya juga belajar menyetir mobil. Soalnya, sebagai au pair, sudah jadi tugas saya mengantar-jemput bocah ke sekolah. Anak asuh saya tiga orang, jadi tidak mungkin naik motor. Pun, jarang sekali ada motor buatan Jepang lalu-lalang. Semua orang pakai roda empat, saking jauhnya jarak rumah kalau mau belanja. Memangnya Indonesia, jalan ke depan bisa beli siomay dan cemilan?

Kemampuan menyetir ini rupanya memang sangat diperlukan. Tapi yang lebih utama adalah: menyetir tanpa kesalahan. Bayangkan saja, di Jakarta saya terbiasa dengan semrawutnya lalu lintas yang…tahu sendirilah. Bahkan, saat kursus mengemudi, saya tanya instruktur saya, “Mas, kalau di ujian gambar kan ada tiga mobil di perempatan, yang boleh jalan duluan yang mana?” dan dia menjawab dengan yakinnya “ya, yang paling dekat tikungan

mbak.”

Si mas instruktur ini ya, kalau tes menyetir di Straya, sudah dicoret dari daftar peserta plus disuruh push up. Menyesatkan betul dia. Saya belajar soal aturan berkendara, ya malah pas di Australia! Bahwa kendaraan di jalur lurus punya hak jalan lebih dulu, demikian pula kendaraan yang datang dari arah kanan.

Hidup di Australia membuat saya lebih berhati-hati agar tidak melanggar aturan. Oh, bukan karena saya orang yang lurus bersahaja, ya. Tapi bayang-bayang denda atau hukumannya yang lumayan. Saya jadi saksi betapa tegasnya petugas dan polisi kalau menyangkut denda. Hostmum saya di Melbourne kena denda AUD 400 karena menggunakan ponsel sambil berkendara (saya sudah ingatkan lho ya), dan teman saya apes kena denda AUD 125 atau AUD 200, saya lupa, gara-gara membetulkan tali sepatu di kereta. Yep, dilarang menaikkan kaki di kursi!

Yah begitulah kalau merantau, harus ikut tata krama mereka. Ibarat kata para tetua, di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung.

Teks: Elga Ayudi