Cinta AIAV untuk Indonesia

Student Exchange, salah satu kegiatan AIAV

Australian Indonesian Association of Victoria Inc. (AIAV) adalah organisasi tertua yang menjalin hubungan antara warga Australia dan Indonesia. Kebanyakan dari anggota AIAV adalah warga Australia yang memiliki hubungan batin dengan Indonesia, baik karena pernah berkunjung, studi tentang Indonesia, atau terhubung melalui perkawinan. Berdiri pada 1956 dengan Ketua pertama Prof. A.M. Clark, AIAV boleh disebut sebagai organisasi yang paling mapan dari sisi organisasi dan paling stabil dari aspek regenerasi. Ketua AIAV saat ini adalah Lester Levinson yang merupakan ketua ke-24. Informasi mengenai AIAV bisa dilihat di http://www.aiav.org.au/.

Lester Levinson
Lester Levinson

Salah satu program andalan dari AIAV adalah kelas bahasa (language class) yang sudah bertahan selama 45 tahun. Kursus ini diadakan setiap Selasa jam 6.30 – 8.30 PM mengambil  tempat di University of Melbourne Hawthorn Campus. Saat ini kelas bahasa AIAV boleh dibilang yang terbesar di seluruh Australia dengan jumlah peserta sebanyak 85 orang. Tak kurang dari 10 tenaga pengajar membimbing para peserta mulai dari kelas dasar hingga mahir.

“Jumlahnya memang naik-turun,” ujar Lester. “Tetapi kami konsisten selalu memberikan kursus berapa pun jumlah peserta yang mendaftar. Tidak pernah berhenti selama 45 tahun,” sambungnya.

Para peserta kebanyakan adalah orang yang lahir dan besar di Australia. Sebagaian dari mereka lahir di Eropa dan Amerika Serikat. Dan ada pula peserta dari pendatang Asia seperti Jepang.  Untuk apa mereka belajar bahasa Indonesia? Menurut Lester, latar belakang peserta kursus bermacam-macam.

“Ada yang untuk kepentingan traveling, volunter LSM, tuntutan pekerjaan, atau karena berpasangan dengan orang Indonesia,“ papar pengusaha yang sering bolak-balik ke Indonesia itu. “Ada juga yang ikut kursus karena kecintaan terhadap Indonesia, dan bukan karena alasan lain,” lanjutnya.

Kursus yang diselenggarakan oleh AIAV tergolong dalam pendidikan orang dewsa (adult education). Usia peserta berkisar antara 18 – 70 tahun.  Para peserta mendapatkan informasi kursus ini dari berbagai sumber, seperti dari Center for Adult Education, KJRI Melbourne, dan iklan media massa. Secara rutin AIAV memang memasang iklan di sebua harian nasional.

Selama mengelola kelas bahasa itu, Lester mencatat beberapa kendala dalam belajar bahasa Indonesia. Misalnya bagi peserta yang belum pernah belajar bahasa asing lain yang belum mengenal tata bahasa selain Bahasa Inggris. Mereka cukup kaget dengan aturan dalam bahasa Indonesia.  Ada lima tingkat kursus AIAV, yaitu beginners, post beginners, intermediate, post intermediate, dan advanced. Tak jarang seorang peserta merasa cocok dengan pengajar di tingkat dasar sementara untuk tingkat lanjutan harus berganti guru.

“Beberapa dari peserta ingin diajar oleh guru yang sama padahal ia harus naik tingkat, hal ini juga menjadi kendala,” papar Lester.

Namun, yang mengejutkan dari catatan AIAV, kendala lainnya  ialah rasa malu untuk berbicara dalam bahasa yang berbeda.  Selama ini kita berpikir hanya anak-anak Indonesia saja yang malu ketika praktik berbahasa asing. Ternyata orang Australia yang dibiang masyarakat terbuka pun merasakan malu saat harus praktik berbahasa Indonesia. Takut salah dan keliru, ternyata rasa yang universal dan dimiliki oleh siapa pun yang belajar bahasa asing.

Untuk memperlancar kemampuan berbahasa Indonesia, setiap bulan AIAV mengadakan Malam Ngobrol yang tempatnya bergiliran, dari rumah ke rumah atau di taman.  Sementara untuk meningkatkan pemahaman budaya, AIAV memberikan layanan kunjungan ke Indonesia (Language Immersion Course) selama dua minggu.

Begitulah cinta AIAV untuk Indonesia. Tanpa lelah, lembaga ini terus bertahan dan memberikan layanan kursus Bahasa Indonesia kepada warga Australia.