Catatan untuk IFF Melbourne

Nonton Bareng menjelang IFF 2015. Nonton Bareng IFF 2015#OZIP

Gaton Suhadi

Indonesian Film Festival (IFF) kembali menghibur masyarakat Melbourne pada bulan April mulai tanggal 9 sampai tanggal 18 April 2015, di Australian Centre for the Moving Image (ACMI) Federation Square. Tahun ini, IFF genap berusia sepuluh tahun dan mengusung tema ‘Explore Another Face of Indonesia’.

Ada dua hal yang menarik, pertama, usia festival ini berumur sepuluh tahun. Usia ini menandakan bahwa IFF yang diprakarsai oleh IFF Inc dan University of Mebourne Indonesian Student Association (MUISA) ini merupakan festival film Indonesia yang paling lama bisa bertahan secara rutin di tingkat internasional. Dengan sendirinya, IFF bisa dikategorikan sebagai arena yang cukup matang untuk digunakan sebagai ajang promosi kebudayaan dan kesenian Indonesia, khususnya film, di luar negeri.

 

Untuk mempertahankan penyelenggaraan IFF ini dan bahkan meningkatkan kualitasnya, kita sangat mengharapkan keterlibatan yang lebih dalam lagi dari pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif, Kedutaan Besar Indonesia di Australia dan pihak-pihak lain seperti Badan Perfilman Indonesia, insan perfilman dan Sinematek Indonesia. Sebuah panitia tetap IFF di Melbourne mungkin perlu dibentuk untuk secara rutin untuk menjaga kesinambungan festival film ini sehingga gaungnya tidak mudah pudar. Dalam situasi apapun yang mewarnai hubungan Indonesia dan Australia, promosi kebudayaan dan kesenian Indonesia sebaiknya tidak menurun, bahkan harus bisa ditingkatkan. Penguatan hubungan bilateral melalui bidang sosial (people-to-people) dan kebudayaan adalah sebuah cara mempertahankan sikap saling percaya, ditengah tidak stabilnya hubungan diplomatik antara kedua negara.

 

Tema IFF kali ini menarik karena mencerminkan sebuah usaha yang tiada henti untuk memperkenalkan identitas Indonesia sebagai negara multi etnis dengan beragam kebudayaan dan karakter orangnya. Adalah menjadi tanggung jawab kita semua, terutama yang berdomisili di luar negeri untuk terus menerus menyuarakan bahwa Indonesia tidak hanya Pulau Bali karena masih terdapat belasan ribu pulau lainnya.

 

IFF tahun ini membawa sebelas film yang diharapkan bisa berbicara tentang identitas Indonesia. Tabula Rasa (2014), misalnya, adalah film dengan tema utama kulinari Indonesia dalam hal ini masakan Minang. Tabula Rasa di Indonesia sendiri adalah film yang pertama kalinya menyoroti perihal makanan khas Indonesia. Jalanan (2013) mungkin adalah film pertama yang memotret perjuangan tak kenal lelah tapi bersahaja para pengamen di jalanan Jakarta. 3 Nafas Likas (2014) dan Siti (2014) adalah dua film yang menampilkan perjuangan dua karakter wanita dari tempat yang berbeda (Sumatra Utara dan Jogjakarta).

 

IFF 2015 juga untuk pertama kalinya menampilkan dua film horor yaitu Tes Nyali (2015) dan Angker (2014) berjenis thriller. Kedua film thriller ini memperlihatkan budaya dan selera pop yang tidak pernah pudar di kalangan pecinta film di Indonesia. Hasduk Berpola (2013) menampilkan cerita sebuah keluarga di kawasan Jawa Timur. Love and Faith (2015) bertemakan perjuangan hidup sebuah generasi dari etnis Tionghoa. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa film-film Indonesia yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai karakter utama sangat sedikit sekali.

Gaston Soehadi#OZIP
Gaston Soehadi

 

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia di Melbourne, saya mengharapkan agar di tahun yang akan datang, film-film yang ditampilkan bisa lebih beragam, terutama dari tahun produksinya. Melalui kompetisi film pendek IFF 2015, dewan juri telah memilih film pendek Sowan sebagai film terbaik. Sowan bercerita secara intim dan personal, dengan menggunakan Bahasa Jawa, tentang dampak psikologis peristiwa tahun 1965. Saya sangat menganjurkan agar IFF di masa mendatang bisa menampilkan film Indonesia yang telah dianggap klasik seperti Lewat Jam Malam (Asrul Sani, 1954) dan Di Bawah Lindungan Ka’Bah (Asrul Sani, 1981). Penanyangan film-film klasik Indonesia ini sangat bermanfaat untuk menggambarkan dinamika sejarah perfilman Indonesia.

 

Selain kedua hal di atas yang bisa menjadi catatan pretasi sekaligus tantangan, aspek lain yang perlu menjadi fokus utama IFF mendatang adalah peningkatan promosi di kalangan masyarakat Australia yang juga sangat multikultural. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah terbesar penonton IFF adalah masyarakat Indonesia, terutama mahasiswa dan pelajar Indonesia yang sedang belajar di Melbourne. IFF perlu meraih penonton yang lebih bervariasi untuk bisa mencapai targetnya sebagai ajang promosi film Indonesia di luar negeri. Salah satu hal yang penting untuk ini adalah dengan bekerja sama secara lebih erat lagi dengan media setempat khususnya radio dan surat kabar lokal. Hal lain adalah dengan menjalin kontak secara individual dengan insan perfilman Australia guna menjadikan IFF tidak saja sebagai arena promosi, tapi juga forum pertemuan dan kerjasama bagi sineas Indonesia dan Australia.

 

(Penulis adalah anggota Dewan Juri Kompetisi Film Pendek IFF 2014 dan 2015)