Catatan Akhir Tahun: Tentang Kerinduan akan Kampung Halaman

Liburan akhir tahun telah tiba. Bagi sebagian orang, khususnya para perantau yang telah lama jauh dari rumah, masa ini sangat lekat dengan tradisi pulang kampung; bertemu dan menghabiskan waktu liburan bersama kawan, kerabat, dan keluarga. Pekerja mulai mengajukan cuti kerja, dan anak-anak menikmati liburan sekolah musim panas. Beberapa orang telah mulai mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Namun, hal ini berbeda dengan Soraya dan Zahra, dua warga negara Indonesia yang telah lama bermukim di Australia. Apa saja kesan mereka tentang kampung halaman? Yuk, simak cerita selengkapnya dari dua kawan kita ini.

Bagi Soraya Permatasari, kampung halaman baginya tidak hanya tempat di mana ia terlahir. Namun, kampung halaman juga tempat Soraya tumbuh dan menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidupnya. Ketika ditanya tentang kampung halaman, tanpa berpikir panjang ia langsung menyebut Indonesia. Namun, telah cukup lama tinggal di Australia. Setelah kurang lebih 7 tahun, Soraya merasa amat rindu akan Indonesia.

Tidak hanya rindu akan tempat, kuliner dan suasana juga tak jarang membuat beberapa perantau merindukan kampung halaman. Bagi Soraya yang telah menjadi permanent resident di Australia ini mengaku bahwa kulinerlah yang kerap membuatnya rindu akan Indonesia. Masakan otentik Indonesia yang jarang bisa ditemui di Melbourne membuat rindunya membuncah terlebih ketika liburan panjang telah tiba.

“Sebenarnya banyak resto Indonesia di Melbourne. Namun, rasanya tetap berbeda. Lebih otentik di Jakarta,” tuturnya. Perempuan yang kerap disapa Aya ini juga bercerita sedikit tentang kiprahnya sebagai diaspora Indonesia yang tinggal di Melbourne. Ia mengaku bahwa tinggal jauh dari kampung halaman semakin membuat rasa cintanya terhadap tanah air membesar. Ia menemukan rasa syukur tersendiri menjadi warga negara Indonesia lantaran diberi kesempatan untuk bertumbuh di tanah air: sebuah negara yang memungkinkan ia untuk berkembang dan terus mengasah kemampuan diri.

Aya mengaku sejauh apapun kakinya melangkah dan senyaman apapun ia tinggal di negara orang, Indonesia tetap memiliki nilai dan ruang tersendiri baginya. Keramahtamahan serta keakraban masyarakat Indonesialah yang membuatnya selalu nyaman ketika berada di negara tersebut. Selain itu, jarak juga yang membuat Aya semakin ingin berkontribusi untuk negerinya. Oleh karenanya, di sela-sela pekerjaannya, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan di komunitas-komunitas Indonesia yang ada di Australia, salah satunya adalah kegiatan donasi untuk bencana Lombok dan Palu yang diadakan tempo lalu.

Selain Aya, Zahra Kautsarina Hanifah juga mengaku merasakan kerinduan yang besar terhadap kampung halaman khususnya kota Bandung Indonesia. Mahasiswi sarjana yang telah bermukim di Melbourne sejak awal tahun 2015 ini mengungkapkan rasa rindunya terutama kepada sanak saudara dan keluarga. Tidak hanya itu, suasana Bandung menjadi cerita tersendiri bagi perempuan yang kerap di sapa Zahra ini. “Bandung itu perpaduan antara lingkungan, udara, makanan, orang-orang terdekat, serta segala perasaan yang ada dalam jiwa saya,” tuturnya. Semua hal tentang Bandung berkumpul menjadi satu ketika kerinduan ini telah berada dalam puncaknya.

Bandung juga menempati porsi terbesar dalam ruang hati Zahra, karena kota ini telah membentuk dirinya hingga menjadi ia yang sekarang ini. Kerinduannya terhadap kampung halaman ia curahkan dengan bergabung dengan komunitas-komunitas Indonesia yang ada di Melbourne. Selama ia berkuliah di Australia, ia aktif bergabung dalam kegiatan organisasi YIMSA, sebuah organisasi mahasiswa muslim Indonesia yang tengah menempuh ilmu di Melbourne. Dari situah ia banyak mendapatkan rasa Indonesia. Ia juga sering mengajar cara membaca Al-Qur’an bagi anak-anak Indonesia di Madrasah Westall.

Selain kedua komunitas dan kegiatan di atas, pengalaman di Paskibra KJRI Melbourne juga sangat berperan penting dalam mempertebal kecintaanya terhadap Indonesia. Ia mengaku kegiatan Paskibra banyak membuatnya semakin berkiprah untuk tanah air. Lantaran seringnya ia berinteraksi dengan kawan-kawan dari Indonesia serta bergabung dengan banyak kegiatan Indonesia, ia merasa bahwa ia seperti tinggal di Indonesia. Hal-hal itulah yang kerap menjadi obat rindunya kepada kampung halaman terutama di akhir tahun ini.

Kisah Soraya dan Zahra membuat kita sadar bahwa kampung halaman akan terus mengisi ruang tersendiri bagi sebagian besar orang, terutama mereka yang telah lama merantau ke tempat nan jauh. Aromanya kerap memenuhi perasaan nostalgia bagi mereka yang diselimuti kerinduan mendalam. Sebab, tak jarang mereka menjadi saksi tumbuh-kembangnya diri seseorang dari kecil hingga dewasa.

Teks: Nudia Imarotul Husna

Foto: dok. Soraya dan Zahra