Cak Lontong, Candaan Cerdas dari Ide yang Bernas

Nama aslinya Ir. Lies Hartono. Namun, ia lebih dikenal dengan panggilan Cak Lontong. Komedian Indonesia ini memulai kariernya di industri hiburan khususnya menjadi pelawak tunggal atau stand-up comedian sejak masih menjadi mahasiswa di Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Surabaya (ITS). Nama panggilannya yang terdengar cukup unik ini bermula saat dirinya mengenyam pendidikan di SMA, teman-temannya memanggilnya “Lontong” karena postur badannya yang tinggi jangkung. Sedangkan “Cak” adalah panggilan untuk “kakak” dalam bahasa daerah Jawa Timur.

Bersama dengan teman-temannya semasa menimba ilmu di kota pahlawan itu, ia tergabung bersama dalam sebuah grup lawak Ludruk yang diberi nama “Cap Tugu Pahlawan” pada tahun 1992 yang kemudian sering ditayangkan pada stasiun televisi SCTV Surabaya kala itu. Ia kemudian menuturkan keterlibatannya di panggung dunia komedi didasari niat untuk menghasilkan tambahan dana, guna meringankan biaya kuliah. Selain itu, manggung sebagai pelawak juga jalan baginya untuk bersenang-senang dari padatnya perkuliahan.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1995, Cak Lontong dan beberapa temannya mendapatkan kontrak dari stasiun televisi Indosiar untuk mengisi program PESTA. Program ini tayang setiap seminggu sekali, sehingga mengharuskan ia dan grup lawaknya untuk menempuh perjalanan pulang-pergi menggunakan kereta api dari Surabaya menuju ibu kota, selama kurang lebih satu tahun.

Setelah lulus dari bangku universitas, Cak Lontong mengaku sempat menjajaki dunia karier di perusahaan multinasional selama empat tahun. Namun, ia kemudian banting setir dan memfokuskan kariernya sebagai seorang komedian pada awal tahun 2000 dan membangun lagi dari nol.

“Ilmu yang didapat semasa kuliah itu memang buat kita, namun wisuda itu untuk orang tua,” ujar pria kelahiran Magetan, 7 Oktober 1970 ini. Pria yang juga dikenal dengan jargon “mikir” ini ingin membangun lawakan yang cerdas bagi para penonton, dan ia mengakui bahwa bakatnya terasah saat menjalani hari-hari sebagai anak teknik ketika itu. “Pelawak itu seperti seorang supir yang sedang membawa penumpang ke dalam pola berpikir menuju bagian titik-titik tertawa mereka,” kata Cak Lontong.

Saat ditanya siapa sosok yang menginspirasi untuk membuat dia senantiasa belajar, ia menjawab almarhum Mamiek Prakoso. Menurut pria yang juga membawakan acara Waktu Indonesia Bercanda (WIB) di stasiun televisi NET TV ini, sosok Mamiek adalah seorang pelawak yang visioner dalam memberikan banyolan-banyolannya yang khas. “Mamiek pernah bilang, pelawak itu memang harus lucu namun sebagai manusia terkadang tidak selalu lucu, sehingga jadilah pelawak yang masih enak untuk ditonton,” ujar Cak Lontong.

Bakatnya sebagai seorang komedian tunggal tidak terlepas dari hobinya untuk membaca, karena dia merasa banyak mendapat tambahan untuk selalu memberikan lawakan-lawakan segar. Menurutnya, lawakan yang baik datang dari pilihan kata yang enak untuk didengar dan tidak membuat orang lain merasa risih.

Ia pun menambahkan, untuk menggapai kesuksesan yang saat ini tengah ia rasakan, ia menjaga komunikasi dan hubungan yang baik karena menurutnya perilaku yang baik akan membuka banyak pintu rezeki.

Dalam perjalanan kariernya, ia kerap masih merasakan demam panggung saat tampil di depan khalayak ramai, namun itu justru jadi hal yang bisa dilihat sebagai hal positif. “Kalau terlalu nyaman malah bisa jadi bahaya karena bisa terlena. Namun, kalau ketika manggung merasa deg-degan, itu basi jadi umpan untuk menyiapkan materi lawakan dengan lebih maksimal,” katanya lagi.

Teks: Destari P Pertiwi

Foto: Siti Mahdaria dan Destari P Pertiwi