Balada Debat Pilpres

Tidak mengherankan kalau Debat Pilpres pertama bulan lalu (Januari) cukup menghebohkan, karena ternyata pertanyaan-pertanyaannya sudah “dibocorkan” kepada kedua belah pihak, hingga penampilan para peserta di atas panggung mirip sandiwara. Unsur kejutan akhirnya memang terasa tidak ada gara-gara apa yang disebut sebagai “kisi-kisi”. Akhirnya, kita memang kembali pada petuah orang tua-tua bahwa di dunia ini memang tidak ada yang sempurna.

Debat pilpres pertama kali dirintis di Amerika Serikat. Pada tanggal 26 September 1960, calon presiden dari Partai Demokrat  Senator John Kennedy beradu ketangkasan dengan calon presiden dari Partai Republik (Wapres) Richard Nixon, di hadapan hampir 75 juta pemirsa televisi (gambarya masih hitam-putih waktu itu).

Dasar televisi, penampilan ternyata memang merupakan unsur penting, bukan sekadar isi. Berbagai laporan mengenai perdebatan tersebut menyimpulkan bahwa sebelum naik ke panggung untuk adu mulut itu, tidak banyak di kalangan rakyat pemilih di Amerika yang mengenal Senator John Kennedy secara mendalam, sementara Richard Nixon sebagai wakil dari Presiden Dwight Eisenhower sudah lebih kesohor.

Tapi, apa hendak dikata: dalam perdebatan itu Senatror John Kennedy tampil bukan saja ganteng melainkan juga segar bugar, dengan senyum khasnya, meski sakit punggungnya belum sembuh. Lain halnya dengan Richard Nixon yang waktu itu baru keluar dari rumah sakit. Ia kelihatan kerempeng, pucat, keringatan dan kumal, karena, begitu dilaporkan, ia lupa mencukur kumis, janggut dan jambangnya sebelum tampil di depan kamera televisi. Belakangan diketahui bahwa paginya ia memang sudah sempat kelihatan klimis, hanya saja antara matahari terbit dan matahari terbenam (debat dilangsungkan malam hari), bulu-bulu mukanya ternyata sudah mulai tumbuh kembali.

Senator Kennedy memang tekun mempersiapkan diri, dengan bantuan asisten khususnya yang juga merangkap sebagai penulis pidatonya, Ted Sorensen. Ted menuturkan bahwa pagi hari sebelum debat dilangsungkan, ia melatih sang Senator dengan menggunakan kartu-kartu khusus berisikan berbagai keterangan dan penjelasan mengenai hal-hal yang mungkin akan ditanyakan oleh panel yang disiapkan untuk menguji kedua calon presiden tersebut (jadi pertanyaan-pertanyaannya tidak dibocorkan terlebih dahulu). Dalam hal ini, Ted Sorensen memang piawai sekali dalam mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh panelis.

Sementara Kennedy, dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi perdebatan itu, ia masih sempat menjemur badannya (agar tidak terlihat terlalu putih) di bagian atas hotel tempat ia menginap di Chicago.

Setelah berjam-jam latihan dan menyampaikan pidato di depan sebuah serikat buruh, Kennedy kemudian tidur siang. Kata Ted Sorensen: “Ketika saya akan membangunkannya, saya sempat mengintip dari celah pintu kamar hotel, dan melihat Kennedy mendengkur sementara di sekitarnya bertaburan kartu-kartu berisi berbagai keterangan dan penjelasan yang telah dipersiapkan. Rupanya sebelum tidur Kennedy masih menyempatkan diri untuk ‘menghafal’ berbagai keterangan dan penjelasan yang diperkirakan bakal diajukan oleh para panelis, laksana seorang siswa mempersiapkan diri untuk menghadapi ulangan di sekolah.”

Mereka yang menyaksikan perdebatan tersebut menyimpulkan bahwa Senator Kennedy lebih unggul dari Wapres Richard Nixon, sementara mereka yang mengikuti perdebatan tersebut melalui siaran radio menganggap Richard Nixon lebih jitu. Artinya, harus diakui bahwa penampilan memang mampu mempengaruhi isi.

Meski dalam berbagai debat susulan Richard Nixon tampil lebih unggul, namun kesan pertama yang terukir di benak para pemirsa televisi ternyata tidak mudah dikikis dan akhirnya, dengan perbedaan suara tipis, Senator John Kennedy menjadi orang Katolik pertama yang berhasil menghuni Gedung Putih, kediaman resmi kepresidenan Amerika.

(Pertama kali seorang Katolik mencalonkan diri dalam Pilpres di Amerika adalah di tahun 1928. Namun bakal calon tersebut, Al Smith, tidak berhasil karena sentimen/prasangka terhadap Gereja Katolik di Amerika yang waktu itu memang masih sangat kuat).

Meski televisi telah terbukti sangat berperan dalam politik, namun barulah 16 tahun kemudian depat pilpres kedua dilangsungkan di Amerika Serikat.

Mengapa?

Dalam pilpres Amerika 1964, Presiden Lyndon Johnson tidak sudi bertarung di depan kamera televisi melawan penantangnya Barry Goldwater – Lyndon Johnson memenangkan masa jabatan kedua. Dalam pilpres 1968 dan 1972, Richard Nixon yang kembali tampil dengan cita-cita yang sama – untuk terpilih sebagai presiden – tidak bersedia diajak debat, karena kapok setelah dikeokkan Kennedy (yang tewas dibunuh pada tahun 1963) dalam tahun 1960. Richard Nixon akhirnya menang dua kali, meski dalam masa jabatan kedua, ia dimakzulkan karena kasus Watergate.

Sementara itu, pada pilres 1976, Presiden Gerald Ford adu mulut dengan calon presiden dari Partai Demokrat, Jimmy Carter, yang berhasil mengalahkan petahana. Sejak itulah dalam setiap pilpres di Amerika, debat antara para calon presiden sudah menjadi semacam ketentuan, dan sepanjang sejarah, televisi memainkan peran besar dalam penyelenggaraan debat. Misalnya, pada debat kepresidenan Amerika tahun 1980, lagi-lagi peranan tv disimpulkan telah memberikan kemenangan kepada aktor film-film picisan Ronald Reagan (dari Partai Republik) yang berhasil mengalahkan petahana Jimmy Carter. Reagan tampil meyakinkan dengan mengumbar banyak senyum dan kelihatan santai – meski lebih tua – dibandingkan Carter. Sebab, tampil di depan kamera baginya adalah hal biasa. Singkat kata, dia kelihatan profesional, sementara Carter tampil kaku.

Pencitraan di depan panggung sempat disinggung oleh pujangga Inggris William Shakespeare:

“All the world’s a stage,

And all the men and women merely player….” (As You Like It.)

Maksudnya, dunia ini hanyalah panggung sandiwara dan semua lelaki serta perempuan hanyalah sekadar aktor/aktris”. Hingga yang lebih meyakinkan aktingnya akan lebih berhasil.

Kalimat Shakespeare ini mirip dengan peringatan dalam Kitab Suci Umat Islam, Al-Quran:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka.”

(Q.S. Al-An’ām 6 : 32).

Meski sarat akan bumbu pencitraan, debat kepresidenan Amerika biasanya mengangkat soal-soal yang kontroversial agar masyarakat mengetahui pandangan dan bakal-kebijakan yang akan diterapkan masing-masing calon sekiranya sampai terpilih. Selain itu, tak hanya panelis/moderator (yang biasanya seorang wartawan), hadirin juga dibolehkan mengajukan pertanyaan. Sesuatu yang belum pernah diterapkan dalam debat kepresidenan di Indonesia. Tak apalah, yang penting bukan debat kusir!

Wallahua’lam.