Bahasa Menunjukkan Bangsa

“Pusing!”

Itulah barangkali tanggapan banyak orang Indonesia ketika harus bergelut setelah usia agak lanjut dengan bahasa Inggris, termasuk yang digunakan di Australia.

“Malas, ah!” adalah reaksi lainnya. Maksudnya, malas mempelajari bahasa Inggris. Jadi mereka lebih suka keluar uang sedikit, pasang parabola, dan nonton televisi Indonesia 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Tapi, setelah menonton televisi Indonesia, ternyata bahwa bahasa Indonesia mereka lantas tidak menjadi tambah baik. Bagaimana bisa bertambah baik kalau yang didengar setiap hari adalah “destinasi pengunjung” (apa yang salah dengan kata “tujuan?”); warning kepada pemerintah…” (ke mana kata peringatan?), “Jangan pernah…” (bukankah seharusnya “Jangan sekali-kali…”), “Hak prerogati …” (bukankah prerogatif sudah memadai kalau memang tidak ingin menggunakan kata hak, atau silakan menggunakan ungkapan “hak khusus, hak istimewa”). Dalam bahasa aslinya, “prerogative” digunakan secara tunggal (sendirian tanpa disandingkan dengan kata hak). Oh, bagaimana dengan pemberitaan ini: “Kaum buruh menuntut remunerasi yang lebih layak…” Apa yang salah dengan kata upah yang sudah lebih dahulu mengakar di Indonesia.

Coba perhatikan nyanyian untuk menidurkan anak di kalangan masyarakat Melayu/Indonesia ini:

Pok amai amai

Belalang kupu-kupu

Tepuk biar ramai

Nanti malam UPAH susu

Susu lemak manis

Santan kelapa muda

Anak jangan nangis

Nanti UPAH tanduk kuda.

(Haruskan diganti “Nanti remunerasi tanduk kuda?”)

Dalam kaitan lagu di atas, kata “upah” punya makna tersirat sebagai suatu balas jasa. Namun apa hendak dikata, kaum buruh harus mendapat remunerasi yang layak, mungkin karena upah sudah dianggap tidak lagi memadai, atau telah usang dan ketinggalan zaman.

Sejak kecil, di sekolah maupun di rumah kita diajari mengikuti peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Para pendahulu kita menyampaikan peribahasa ini sebagai petuah atau nasihat agar kita pandai-pandai membawa diri terutama di kampung atau di rantau orang. Sebab bisa-bisa nanti orang asing salah sangka, kita merupakan cerminan dari semua kaum kita. Artinya kalau kita bikin salah – meskipun karena kita tidak tahu – maka orang akan menyangka kesalahan itu memang merupakan bagian melekat dari kaum kita. Makanya dianjurkan “masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang ayam berkokok.” Jangan sebaliknya. Agar jangan sampai “rusak susu sebelanga karena nila setitik.” Artinya kita memberikan anggapan yang keliru kepada orang lain bukan saja tentang diri kita melainkan juga kaum kita.

Kembali pada kemalasan sebagian orang untuk berbahasa Inggris. Bagaimanapun, harus diakui bahasa Inggris memang sulit, rumit, pelik, berbelit-belit, tidak menentu seakan tidak punya aturan yang baku atau punya pola yang masuk akal. Mereka yang ingin menggelutinya memang harus berjuang mati-matian, termasuk penulis sendiri yang boleh dibilang saban hari menemukan sesuatu yang baru mengenai bahasa ini. Bagaimana bahasa ini berhasil menjadi “bahasa umat manusia” (satu dari tiap empat orang di bumi ini bisa berbahasa Inggris) merupakan teka-teki yang sangat memukau.

Karena itulah ketika banyak mahasiswa dari Indonesia mendapat beasiswa Rencana Colombo di era 1950-an dan 1960-an, beredar lelucon tentang sejumlah mahasiswa kita yang baru tiba di Melbourne, ketika menunggu bus di pinggir jalan, semuanya duduk di bibir trotoar, karena di halte bus itu ada maklumat “No standing any time” yang secara harfiah artinya memang dilarang berdiri kapan pun, meski makna sesungguhnya adalah “kendaraan bermotor lain (kecuali bus resmi) tidak boleh berhenti barang sesaat pun di tempat itu.”

Bahasa Inggris memang sulit. Ketika ada orang Indonesia bertanya, “Shall I open my shoes?”, dijawab dengan “Oh, don’t bother to take off your shoes.” Kalau kepanasan kita bilang, “Can I open my shirt?” dijawab “Sure, you may take off your shirt.” Lalu jika sekadar hendak buka kancing baju kita bertanya, “Can I open my buttons?” dijawab, “Sure you can unbutton your shirt”. Kalau kehausan kita bertanya “Can I open the tap?” dijawab “Sure you can turn on the tap”; kalau lagi suntuk ingin curhat lalu bertanya, “Can I open-open (buka-bukaan) with you?” dijawab, “Sure you can cry on my shoulder”; kalau akan buka puasa “Can I open my fast at your house?” dijawab “Sure you can break your fast at my house”.

Ini baru sebagian kecil dari “kegilaan” bahasa Inggris. Jadi tidak terlalu mengherankan kalau banyak orang asing (termasuk warga Indonesia) yang malas belajar bahasa ini. Pokoknya asal bisa dipahami dan memahami sudah cukup, selebihnya nonton televisi Indonesia saja, supaya kalau lagi “ngerumpi” dengan temen-temen kita tidak seperti ketinggalan kereta api.

Sebenarnya bagus juga kalau kita mengikuti berita terbatu di Tanah Air, apalagi sekarang sudah memasuki Tahun Politik. Kita sebagai para calon pemilih perlu mendapat siraman penjelasan, semoga yang objektif dan membangun, agar dapat menentukan siapa yang akan dicoblos. Dalam hal ini hanya media di Indonesia – yang semoga berpegang pada asas “memberitakan tanpa rasa takut dan pilih kasih” – yang dapat memberikan wawasan yang seluas-luasnya bagi kita agar kita dapat dengan arif dan bijaksana menentukan pilihan.

Wallahu a’lam.