Bahasa dan Pribadi si Pembicara

Bahasa adalah mesin komunikasi dan ekspresi bagi pembicaranya. Kata-kata adalah  suku cadangnya, tatabahasa alat pemasangnya. Sebagai mesin besar, bahasa memiliki kelenturan dan daya alir yang sangat tinggi. Dalam komunikasi yang memakai bahasa, kendati para pembicara berbahasa yang sama dan menyampaikan hal yang sama, mereka belum tentu memakai kata-kata yang sama. Dan bahasa masing-masing sedikit banyak memancarkan pribadi si pemakai.

Coba simak beberapa contoh:

– Dalam komunikasi dasar, dua penyampaian berikut:

‘Tolong Kak, si Ani belum makan dari pagi’ dan

‘Masih ada makanan di lemari? Si Ani lapar sekali.’

Kedua pengutaraan menyampaikan permintaan agar anak si pembicara diberi makan. Dan menariknya, keduanya menghindari kata ‘minta’, yang sesungguhnya inti pesannya. Meskipun menghindari kata yang terlalu langsung, toh jelas bahwa kedua kalimat itu diucapkan seseorang kepada orang yang cukup dekat dengannya. Jadi masih ada upaya menjaga gengsi, walau tidak secara sadar.

Dalam situasi yang lebih konsekuensial, kebutuhan pra-evaluasi lebih terasa. Umpamanya kita sedang mencari kamar sewaan.Kita membaca sebuah iklan, katakan online, lalu menghubungi si pemasang iklan, juga online.

— ‘Halo, Pak Toto, nama saya Budiman. Saya melihat iklan Anda tentang kamar yang niat disewakan, di situs Plas-Plus. Saya sangat berminat, karena saya membutuhkan kamar sewa mulai bulan depan. Dari foto yang Anda pasang, saya merasa kamar itu cocok untuk saya. Boleh saya datang bertemu dengan Anda dan melihat kamar tersebut?’

Namun si pemasang iklan juga menerima komunikasi dari peminat-peminat lain. Coba simak bahasa yang mereka gunakan dalam dua contoh lagi:

— ‘Saya mahasiswa kedokteran, kuliah di Universitas Kemerdekaan.Saya butuh kamar sewa di kawasan Anda. Saya tertarik pada kamar dalam iklan Anda. Jam satu siang besok saya ada jam kosong. Saya ingin melihat kamar itu. Kalau saya suka, saya akan meyewanya. Saya minta alamat lengkapnya.’

— ‘Toto, namaku Kiki. Aku tertarik pada iklanmu, karena aku perlu kamar sewa secepatnya. Bisa kasih nomor HPmu? Nanti aku telpon bikin janji ketemuan. Bisa?’

Sekarang kita mengambil posisi sebagai si pemasang iklan. Kalau seseorang akan tinggal serumah dengan kita, tentunya kita ingin merasa nyaman dengan kehadirannya di dekat kita setiap hari, meskipun harap-harap tidak selalu sepanjang hari.

Peminat pertama: bahasanya baik dan terstruktur; kesan yang sampai kepada kita dia seorang yang santun; menyapa dan memperkenalkan diri sebelum mulai menyampaikan keinginannya; dan menunjukkan bahwa dia juga sudah menyimak apa yang diminatinya. Jadi kalau kita seorang yang suka hidup yang tidak terlalu rumit kendati membutuhkan pendapatan tambahan, peminat ini akan masuk dalam shortlist kita.

Peminat kedua:  seorang yang memberi kesan dirinya adalah pusat eksistensi (dirinya dan orang lain); semua yang berkaitan dengan dirinya lebih penting daripada orang lain.  Kalau kita tidak suka kemungkinan ada orang yang mungkin petantang petenteng di rumah kita tanpa menghiraukan perasaan orang lain,dan ragu akan taraf toleransi kita, mungkin yang ini tidak kita masukkan.

Peminat ketiga: seorang penembak langsung, dengan minimum basa-basi. Ada kemungkinan dia seorang yang sibuk dan tidak banyak kenal orang-orang yang di luar lingkaran gaulnya yang sepertinya tidak terlalu luas. Kita perlu informasi lebih jauh tentang peminat ini. Plos, masuk shortlistlah dia.

Sekarang mari kita sorot bahasa yang digunakan dalam pembahasan informal namun topiknya cukup serius. Perlu disadari bahwa topik serius tidak selalu diperdebatkan oleh orang-orang yang sudah mengadakan penelitian luas.

Mari kita ambil contoh isu,‘Siapa yang paling berhak menguasai perairan Laut China Selatan?’

A: Negara-negara yang terletak di kawasan itulah yang paling berhak. Kan itu perairan mereka. Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand…

B: Lha, kenapa China mengatakan itu teritori tradisional mereka?

C: Mau bikin keki Amerika aja…

A: Nah, kebetulan ada pak profesor nih. Mengapa China mengatakan Laut China Selatan teritori tradisional mereka, prof?

D: (pakar budaya, tapi karena diminta pendapatnya, terpaksa menjawab) Saya tidak berkualifikasi sejarah, jadi bukan sejarawan resmi. Tapi menurut Doremi* China sejak dinasti Ming, selalu menganggap kawasan Asia Tenggara sebagai teritori yang harus dilindunginya. Dan Miredo* malah menulis dalam bukunya The Dragon that Swallowed the Snake*, bagaimana raja-raja dinasti Ming mengirim armada ke selatan untuk memerangi bajak-bajak laut yang sering menyerang penangkap ikan di sekitar pantai negara-negara Asia Tenggara. Dankalau kita membaca tulisan-tulisan Sosolaso* itu terus terjadi, sampai awal abad kesembilan belas…

Jadi, bahasa bisa menjadi cermin kepribadian Anda. Manfaatkanlah dengan bijaksana.

* Nama-nama fiktif

 Dewi Anggraeni